KAI

Hukum Merayakan 'Valentine’s Day'

Pada setiap tanggal 14 Februari kita melihat penayangan perayaan Valentine’s Day (Hari Kasih Sayang) di media-media

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Hukum Merayakan 'Valentine’s Day'
Muslim Ibrahim

Pada setiap tanggal 14 Februari kita melihat penayangan perayaan Valentine’s Day (Hari Kasih Sayang) di media-media. Mereka saling mengucapkan “Selamat Hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta.

Acara semacam itu terkadang diikuti pula oleh para remaja muslimin dan muslimah. Bahkan, akhir-akhir ini tak jarang orang tua pun ikut-ikutan merayakan ‘ritual’ budaya Barat itu. Bagaimana hukum ikut-ikutan merayakan hari Valentine dan sejarah hari tersebut.

Atas jawaban dan penjelasannya saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalam,
M Kholik Musa
Aceh Tenggara.

JAWABAN:
Saudara M Kholik Musa,
Wa’alaikumus Salam, Wr. Wb.

Pertanyaan saudara sungguh menarik untuk dijawab, berikut inilah jabannya secara ringkas.  

Berdasarkan Ensiklopedia Katolik, ada tiga versi tentang Valentine, tetapi yang paling terkenal adalah kisah Pendeta St. Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Ia dihukum mati pada 14 Februari 270 M, karena menentang perintah Raja Claudius II. Hari kematiannya itulah yang kemudian dirayakan sebagai Valentine’s Day (Hari Kasih Sayang).

Sekarang, malah, beredar kartu-kartu perayaan keagamaan ini dengan gambar anak kecil dengan dua sayap terbang mengitari gambar hati sambil mengarahkan anak panah ke arah hati, yang sebenarnya itu merupakan lambang tuhan cinta bagi orang-orang Romawi Kuno.

Meskipun keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dari sisi akidah (keyakinan) dan pemikirannya.

Hukum ikut-ikutan dalam merayakannya bagi orang Islam adalah haram, demikian ditegaskan Ibnul Qayyim, Syeikh Ibnu Utsaimin dan beberapa ulama besar lainnya. Rasulullah saw telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. At-Tirmidzi).

Abu Waqid ra meriwayatkan: Rasulullah saw saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.”

Maka Rasulullah saw bersabda: “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi).

Dalam hadits ini terdapat larangan keras untuk mengikuti kebiasaan agama lain, termasuk memiliki Dzaatu Anwaath. Adalah wajib bagi setiap orang Islam untuk melaksanakan wala’ dan bara’ (loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari selainnya). Ini merupakan dasar akidah yang dipegang oleh ulama salaf dan khalaf shalih.

Lain dari itu, ikut-ikutannya orang Islam kepada gaya hidup dan menyerupai kekhasan kaum kafirin adalah dilarang keras oleh Allah, sebagaimana dapat dicermati di dalam ayat yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 51)

Para ulama tersebut menambahkan dalilnya yang berbentuk ‘aqly, di antaranya: Ikut-ikutan itu akan berdampak amat buruk, yaitu sudah ikut mempopulerkan ritual mereka dan juga berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka. Padahal, seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pu-la jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7).

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved