Citizen Reporter
Pare, ‘Kampung Inggris’ yang Bersahabat
Pare, itulah nama sebuah desa di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Desa yang dulunya sepi dan sunyi, kini menjelma
Pare, itulah nama sebuah desa di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Desa yang dulunya sepi dan sunyi, kini menjelma jadi kota kecil yang ramai dan mampu menampung ratusan siswa, mahasiswa, dan masyarakat sipil dari berbagai daerah untuk belajar bahasa Inggris, termasuk dari Aceh.
Slogan “Anda Memasuki Kampung Wajib Berbahasa Resmi” semakin mengafirmasi fakta tersebut. Beberapa tahun terakhir ini, Pare terus berkembang pesat dan kini menjadi “kampung Inggris” yang sangat bersahabat.
Pare, kampung sederhana yang memberikan kesan mendalam, begitu ungkap beberapa alumnusnya. Alasan utamanya, biaya kursus yang relatif sangat murah. Untuk kelas Toefl saja hanya mengeluarkan 200.000 rupiah per-bulannya termasuk buku paket dengan 15 kali tatap muka perminggunya.
Belum lagi “free scoring” untuk setiap hari Sabtu. Meski terkesan murah, sederhana dan terkadang hanya mengandalkan balai-balai kecil sebagai tempat belajar, Pare tetap mampu menjaga mutu dan kwalitasnya. Bahkan, dengan kesederhanaannya ia semakin menarik minat pecinta bahasa Inggris.
Maka tak heran jika seseorang itu mampu bertahan hingga enam sampai delapan bulan khusus untuk memperdalam ilmu bahasa setiap harinya.
Selain itu, pilihan kursus pun sangat bervariasi dan beraneka ragam. Tercatat, tidak kurang dari tiga puluh lima rumah kursus telah berdiri di desa tersebut. Masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya, tergantung apa yang menjadi target dan fokus utama pelajar.
Untuk setingkat desa, tentu bisa dibayangkan betapa dekat dan rapat jarak antar setiap rumah kursus. Di satu sisi, hal tersebut memudahkan para pelajar untuk memilih sesuai dengan keinginan dan waktu yang dimiliki. Namun di sisi lainnya justru membuat pelajar kebingungan mencari rumah kursusan yang bagus dan memiliki reputasi menterang.
Pare juga kampung sederhana dengan tawaran biaya hidup yang sangat murah. Hanya dengan 2.000 rupiah, tiap pelajar sudah bisa mendapatkan menu yang memadai. Hal tersebut hampir tidak didapatkan -jika tidak mau dikatakan tidak ada-di beberapa daerah lain termasuk Aceh. Walaupun terkadang bagi sebagian orang masakan ala Jawa tak sesedap masakan Aceh, namun menu yang ditawarkan tersebut sangat membantu bagi yang berstatus pelajar.
Di samping itu, lingkungan Pare juga sangat kondusif untuk mendukung dan mendongkrak kemampuan berbahasa. Layaknya pesantren, camp-camp yang tersebar “mewajibkan” para pelajar untuk berbahasa resmi sekaligus memberikan “sentilan” menghibur dan mendidik bagi para pelajar yang melanggar. Walaupun aturan tersebut tak sepenuhnya berjalan, tetapi cukup mengimprove kapasitas bahasa pelajar. Selain itu, ia semakin berwarna dengan kehadiran sebagian mbak dan mas (bapak dan ibu-ibu) yang lalu lalang menjajakan makanannya. Dengan aroma dan gaya bahasa Inggris ke-Jawaannya yang lucu dan kental, terjalinlah komunikasi berbahasa resmi antara pelajar dan pedagang, setidaknya untuk harga makanan dan percakapan sederhana. Fenomena tersebut semakin menisbatkan Pare sebagai kampung Inggris yang menggairahkan.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Pare telah menjadi salah satu kampung Inggris yang sangat bersahabat. Harapan serupa juga ingin terealisasi di Aceh.
* Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke: redaksi@serambinews.com