Opini

Guru, Ayo Hijrahlah!

SATU benang kusut pendidikan di Indonesia adalah masalah mutu guru. Mengapa guru? Karena gurulah sebenarnya ujung tombak pendidikan

Editor: bakri

SATU benang kusut pendidikan di Indonesia adalah masalah mutu guru. Mengapa guru? Karena gurulah sebenarnya ujung tombak pendidikan. Gurulah orang terdepan yang mengetahui degup napas proses pembelajaran di ruang kelas. Gurulah yang sehari-hari berinteraksi dengan murid di sekolah. Lalu, bagaimana kondisi guru saat ini?

Dari sisi kesejahteraan mulai makin membaik. Berbagai kebijakan terkait kenaikan gaji guru dan banyaknya tunjangan telah membuat para guru tersenyum. Yang penting disoal justru mutu guru dalam penguasaan materi ajar serta metodologi pembelajaran yang kering dan tidak menarik lagi. Inilah yang paling dominan terjadi sekarang ini. Namun ironisnya, guru sulit berubah.

Banyak guru yang sudah memperoleh tambahan gaji dan aneka macam tunjangan, tapi tidak sedikit pun menyisakan uangnya untuk beli buku, ikut seminar atau workshop untuk mengembangkan kapasitasnya. Akibatnya banyak guru yang tertawan oleh mindset lama (A. Dardiri Zubairi, Kompasiana.com, 2/5/2012).

 Tidak termotivasi
Mengajar seolah hanya berceloteh dengan metode ceramah sampai waktunya habis. Inilah metode yang kebanyakan guru suka. Karena tanpa pesiapan matang, misalnya membuat lesson plan, guru dengan mudah bisa menggunakannya. Akibatnya, siswa tidak termotivasi belajar. Metode favorit guru ini sama sekali tidak menantang. Jangankan murid terdorong untuk bisa mengeksplor sendiri rasa ingin tahunya, malah di dalam kelas murid seperti makhluk yang dicocok hidungnya, diam dan membisu.

Sejatinya penguasaan materi ajar ditambah kemampuan metodologi jitu akan merangsang murid kritis dan kreatif. Metodologi yang melibatkan mereka dalam proses pembelajaran akan menantang mereka untuk belajar. Tidak sekedar di sekolah tetapi juga di rumah. Inilah yang sebenarnya saat ini dibutuhkan untuk meretas kebekuan mindset banyak guru.

Menurut Dardiri yang menulis di rubrik edukasi Kompasiana.com itu, proses peningkatan kapasitas guru dapat dilakukan melalui pelatihan atau workshop. Dimana selama ini kegiatan tersebut dilakukan oleh birokrasi pendidikan, tetapi kegiatan tersebut belum didesain dengan bagus. Ia mengkritik, mengapa workshop belum bisa dibedakan dengan seminar. Jika seminar pesertanya boleh saja tidak dibatasi sementara waktunya juga terbatas. Tetapi workshop pesertanya harus terbatas dan waktunya sebaiknya harus memadai.

dardiri juga menilai bahwa pelatihan yang biasanya diadakan birokrasi pendidikan belum didesain secara matang, nara sumbernya bukan orang yang berkompeten, sehingga training guru yang dilakukan pemerintah terkesan hanya buang-buang anggaran. Pelatihan itu belum memberi dampak perubahan bagi guru. Karena itu, negara melalui birokrasi pendidikan sangat mendesak untuk mengurai benang kusut pendidikan melalui peningkatan kapasitas guru sebagai pintu masuknya.

Negara berkewajiban untuk memfasilitasi peningkatan kapasitas guru, jika berharap pendidikan bisa berlangsung dengan baik. Kegiatan workshop dan pelatihan tetap harus digalakkan. Cuma yang perlu dibenahi adalah pada desainnya. Tidak ada salahnya birokrasi pendidikan menyerahkan sebagian dari kegiatan pengembangan kapasitas guru kepada konsultan pendidikan atau NGO yang memiliki reputasi bagus di bidang pendidikan.

Biarlah lembaga itu mendesain kegiatan-kegiatan untuk peningkatan kapasitas guru. Metodologi yang biasa digunakan konsultan atau NGO biasanya menggunakan pendekatan andragogi, di mana peserta diajak melalukan rekflesi, teori, dan aksi. Dengan cara begini, para guru akan kritis melihat dunianya saat ini, termasuk pengetahuan dan metodologi yang digunakan ketika mengajar.

Selesai mengikuti pelatihan atau workshop --yang tentu tidak bisa selesai setengah hari-- alumni pelatihan diminta untuk membuat komunitas-komunitas, yang sudah ada misalnya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), di sekolah atau kecamatan/kelurahannya. Ini dimaksudkan untuk menularkan pengetahuan yang diperoleh di pelatihan atau workshop. Untuk memastikan MGMP jalan, birokrasi pendidikan bisa membuat instrument penilaian yang pelaksaanan evaluasinya bisa melibatkan pengawas pendidikan.

Senada dengan pandangan di atas, intelektual muda, Anies Baswedan, menyatakan kunci perbaikan pendidikan di Indonesia adalah kualitas guru dan bukan ditentukan perbaikan kurikulum. Kuncinya pada guru, bukan otak-atik kurikulum, sebab perbaikan kurikulum seperti apa pun tidak ada artinya bila guru tidak berkualitas. Menurut pendiri ‘Gerakan Indonesia Mengajar‘ itu, pemerintah harus fokus pada perbaikan kualitas guru untuk membenahi pendidikan di Indonesia. Dicontohkannya, pendidikan karakter yang kini sedang diwacanakan pemerintah tidak bisa dengan teori saja, tetapi sangat ditentukan oleh keteladanan.

Nah, keteladanan itu sangat ditentukan oleh kapasitas guru, tentunya guru yang berkualitas. Langkah membangun manusia melalui ‘Indonesia Mengajar‘ yang digerakkannya selama ini merupakan bagian dari upaya membantu pemerintah untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Sebab, hal penting dalam membangun manusia adalah dengan membangun pendidikan, integritas, dan bahasa. Saat ini, manusia yang tidak memiliki integritas atau masih korup itu sudah tidak diterima di tingkat dunia. Jadi, integritas atau akhlak itu saat ini semakin penting diperhatikan dalam pendidikan.

 Gerakan hijrah

Hari Guru Nasional (HGN) ke-67 yang diperingati pada 25 November 2012 atau bertepatan dengan 11 Muharram 1434 Hijriyah lalu, hendaknya spirit hijrah Rasulullah saw menjadi inspirasi perubahan bagi guru, termasuk para guru kita di Aceh. Sudah saatnya melakukan gerakan hijrah, meninggalkan segala pola pikir lama yang jumud menuju pola pikir baru yang lebih tercerahkan (reformis). Sehingga kualitas pendidikan di Aceh lebih baik melalui perbaikan mutu guru, baik yang diusahakan sendiri oleh guru maupun melalui fasilitas yang disediakan pemerintah.

Bentuk-bentuk gerakan hijrah yang bisa dilakukan guru amatlah banyak, seperti peningkatan kualitas professional melalui jalur akademik (pendidikan formal) berupa meraih kualifikasi ijazah sarjana (S1), pascasarjana (S2) dan S3, mengikuti pelatihan-pelatihan, membeli dan membaca buku, menulis karya ilmiah atau melakukan penelitian tindakan kelas (PTK), mengaktifkan diri dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di daerahnya masing-masing, Melalui forum KKG/MGMP diharapkan akan terjadi sharing informasi antara guru dari satu sekolah dengan guru dari sekolah lainnya.

Dengan demikian diharapkan kompetensi guru akan tumbuh dan berkembang seiring dengan meningkatnya aktivitas KKG/MGMP di masing-masing Kabupaten/Kota. Sebab, tujuan pembentukan KKG/MGMP adalah sebagai wadah tukar menukar pengalaman para guru agar terjadi saling penguatan dalam peningkatan mutu proses pembelajaran di kelas masing-masing.

Di samping itu, diharapkan pula terjadi inovasi-inovasi guru dalam mengembangkan alat peraga dan model-model pembelajaran pada setiap satuan pendidikan. Keberadan wadah tersebut diharapkan mampu mendukung peningkatan kreativitas guru dalam pengelolaan pembelajaran yang bermuara pada terciptanya suasana pembelajaran yang kondusif, inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved