Opini
Perspektif Pluralisme Hukum
DARI perspektif antropologi hukum, fenomena pluralisme hukum merupakan fakta hukum dalam masyarakat multikultural. John Griffiths (2006)
DARI perspektif antropologi hukum, fenomena pluralisme hukum merupakan fakta hukum dalam masyarakat multikultural. John Griffiths (2006) mendefinisikan pluralisme hukum sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama. Hooker (1975) menegaskan, dalam pluralisme hukum harus ada interaksi antara berbagai hukum yang beragam itu. Yang menjadikan pluralisme hukum penting untuk dikaji, bukanlah karena keragaman sistem hukum itu, melainkan karena fakta dan potensinya untuk saling berkompetisi hingga menciptakan ketidakpastian.
Situasi ketidakpastian inilah yang dimanfaatkan untuk menjadikan kelompok lain yang mempunyai basis klaim pada sistem normatif yang berbeda tersingkirkan. Persoalan yang sesungguhnya, bukan pada ketidakpastian itu, melainkan adanya relasi kekuasaan yang asimetris pada eksponen berbagai sistem hukum. Abdurrahman (2007) menegaskan, persoalan pluralisme hukum bukan pada tataran memperdebatkan konsep tentang pluralisme hukum itu sendiri, namun yang lebih penting adalah mengungkapkan hasil-hasil temuan, penelitian dan pengkajian aspek-aspek tertentu yang biasa dijadikan obyek kajian di seputar topik-topik mengenai pluralisme hukum.
Konsepsi pluralisme hukum menghendaki pendekatan keberagaman dalam hukum karena konteks pluralitas masyarakat dalam bentuk suku bangsa, budaya, ras, agama, kelas dan jenis kelamin. Pluralisme hukum dipahami sebagai inter-relasi, interaksi, saling pengaruh dan saling adopsi antara berbagai sistem hukum negara, adat, agama dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diaggap sebagai hukum. Konsepsi pluralisme hukum menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur relasi-relasi sosialnya. Pluralisme hukum berbeda dengan pendekatan hirarkhi hukum yang menjadi ciri khas dari positivisme hukum dan sentralisme hukum. Pluralisme hukum memandang bahwa semua hukum adalah sama dan harus diberlakukan sederajat.
Area pluralisme hukum
Tamanaha (2008) menyatakan, legal pluralism is everywhere. Dalam konteks tersebut, Aceh merupakan area pluralisme hukum. Provinsi Aceh dengan status otonomi khusus bercorak multikultural, karena kemajemukan sistem hukum dalam masyarakatnya. Selain sistem hukum negara (state law), secara de facto di Aceh juga berlaku sistem hukum adat (adat law), hukum agama (religious law), dan juga mekanisme-mekanisme regulasi sendiri (self-regulation) dalam kehidupan masyarakat.
Dasar berlakunya pluralisme hukum di Aceh adalah Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang kemudian diperkuat dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Aceh, dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Sistem hukum yang berlaku di Aceh dipahami sebagai sistem hukum nasional dalam pengertian diversitas hukum, yang terdiri dari sistem hukum negara, sistem hukum Islam (syariah), sistem hukum adat/hukum kebiasaan, dan sistem hukum internasional yang telah diratifikasi.
Sistem hukum nasional bukan sebagai suatu kesatuan hukum yang tunggal. Sistem hukum nasional harus dipahami dalam pengertian diversitas kelompok sosial, dengan berbagai variasi norma sosial dan kebiasaan yang merupakan patokan keadilan, yang memberi landasan kepada pembentukan hukum, baik nasional maupun lokal sebagai sistem hukum nasional.
Sebagai contoh, Pasal 149 ayat (1) UUPA dinyatakan, “Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.”
Secara eksplisit, pasal tersebut mengisyaratkan, bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kotalah yang mempunyai kewenangan melakukaan pengelolaan lingkungan hidup di Aceh. Sedangkan masyarakat, sesuai Pasal 148 ayat (2) “berhak untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup.” Ini bermakna bahwa kedudukan pemerintah dan masyarakat dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup jelas berada dalam posisi yang tidak sejajar.
Semakin memprihatinkan
Sudah hampir 6 tahun UUPA dimiliki masyarakat Aceh, ternyata Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota belum juga mampu mengelola lingkungan hidup Aceh ke arah yang lebih baik sesuai cita-cita UUPA. Fakta justeru menunjukkan bahwa keberlangsungan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup Aceh semakin memprihatinkan. Degradasi lingkungan hidup terus meningkat. Kasus-kasus illegal logging, illegal minning, illegal fishing sepertinya sulit dikendalikan. Akibatnya, bencana banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan semakin kerap terjadi di Aceh. Ini menunjukkan intervensi pemerintah terhadap lingkungan belum berhasil.
Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang diterapkan oleh pemerintah dengan pendekatan top down dan struktural seperti yang dilakukan selama ini, selain berdampak negatif terhadap lingkungan juga terkadang mengabaikan kepentingan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Pemerintah kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam proses pengelolaan. Kebijakan pemerintah belum mampu menumbuhkan rasa memiliki dan keinginan dari masyarakat untuk turut menjaga lingkungan. Itulah sebabnya, implementasi kebijakan lingkungan sering ditolak, bahkan menimbulkan konflik vertikal yang kontra-produktif.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, konflik yang bersumber dari potensi sumber daya alam cenderung semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Secara antropologis, konflik merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, apalagi dalam masyarakat bercorak multikultural. Konflik tidak mungkin dihindari atau diabaikan dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, yang penting harus dilakukan adalah bagaimana konflik-konflik itu dikendalikan, diselesaikan, dan dikelola secara arif, damai dan bermartabat agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial.
Untuk mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup dalam perspektif pluralisme hukum, upaya yang harus dilakukan adalah membangun kebijakan pemerintah yang memberi pengakuan dan perlindungan secara utuh dan hakiki terhadap sistem-sistem hukum selain hukum negara, seperti hukum adat dan hukum agama, termasuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris hidup dan berkembang dalam masyarakat. Karakteristik hukum yang dikembangkan harus bercorak responsif (responsive law), yaitu hukum yang responsif dan akomodatif terhadap sistem hukum rakyat sebagai cerminan dari nilai-nilai, prinsip-prinsip, norma-norma, institusi dan tradisi-tradisi hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
* Yanis Rinaldi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Andalas (Unand) Padang. Email: yanisrinaldi@yahoo.com