Opini
SPMK 'Simsalabim'
SPMK adalah singkatan dari "Surat Perintah Mulai Kerja", semestinya diterbitkan apabila terjadi kerusakan prasarana akibat terjadinya bencana alam
SPMK adalah singkatan dari “Surat Perintah Mulai Kerja”, semestinya diterbitkan apabila terjadi kerusakan prasarana akibat terjadinya bencana alam dan SPMK ini muaranya adalah penerbitan penunjukan langsung (PL). Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; “Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor”. Sebagai bentuk legalitas, bencana alam dengan tingkat kerusakan yang luar biasa perlu adanya Pernyataan Bencana Alam dari Pemerintah.
Untuk kegiatan penanggulangan bencana alam yang dananya bersumber dari APBA (provinsi), pernyataan bencana perlu dikeluarkan oleh Gubernur. Demikian pula untuk kegiatan penanggulangan bencana alam yang dananya bersumber dari APBD kabupaten/kota, maka pernyataan bencana alam adalah dari Bupati/Wali Kota. Artinya, penerbitan pernyataan bencana alam sangat tergantung dari pada sumber anggaran yang akan digunakan untuk pendanaan penanganan kegiatan tersebut.
Penerbitan SPMK sudah diatur dalam aturan Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di mana “Pengguna Barang/Jasa dapat menerbitkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), setelah mendapat persetujuan dari penanggung jawab keuangan (Gubernur/Bupati/Wali Kota) dan adanya pernyataan bencana alam dari kepala daerah yang bersangkutan.
Setelah SPMK diterbitkan maka baru dimungkinkan dilakukan penerbitan PL untuk penanganan darurat bencana alam yang harus segera dilaksanakan tanpa menunggu pemrosesan kontrak pekerjaan yang bersangkutan, dapat diberikan SPMK terlebih dulu kepada penyedia jasa. Dan perlu kita pahami bahwa masih ada satu proses yang harus dilakukan dan sangat mengikat, yaitu harus didahului dengan pengajuan harga oleh Penyedia Jasa yang ditunjuk yang dilanjutkan dengan proses negosiasi harga antara Pengguna Jasa dengan Penyedia Jasa agar harga yang disepakati dapat dipertanggungjawabkan, dan masih sesuai dan mendekati harga kegiatan sejenis pada kontrak yang berdekatan dalam wilayah/daerah tersebut.
Dengan dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), maka pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang sifatnya didahului dengan penerbitan SPMK akibat bencana alam, sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 24 Tahun 2007 dan PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, maka kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dilaksanakan oleh SKPA dan instansi/lembaga terkait yang dikoordinasikan oleh BPBA.
Bukan penanganan permanen
Perlu kita pahami bersama bahwa kegiatan bencana alam bukanlah penanganan yang harus permanen, tetapi merupakan pekerjaan tanggap darurat dalam masa kedaruratan, artinya kalau jembatan yang putus cukup dibangun jembatan darurat sepanjang dapat melayani transportasi orang, barang dan jasa, dan kalau tanggul/saluran irigasi yang putus cukup dibangun tanggul/saluran darurat sepanjang dapat mengarahkan aliran air kepada areal tujuan, bukan dibangun secara permanen.
Berdasarkan pengertian di atas, maka SPMK yang memungkinkan untuk diterbitkan adalah apabila terjadi Bencana Alam dan adanya prasarana yang rusak sehingga berpeluang terjadi gangguan terhadap keselamatan masyarakat seperti terputusnya arus transportasi orang/barang dan jasa, sebagai contoh: Apabila robohnya suatu jembatan atau putusnya badan jalan sehingga terganggu arus lalu lintas maka perlu dilakukan penanggulangan darurat (khusus untuk pembangunan jembatan/jalan darurat). Jadi, SPMK yang dikeluarkan dengan pembiayaan adalah sebatas untuk penanganan darurat (konstruksi jembatan/jalan darurat). Demikian pula kalau ada tanggul irigasi yang putus cukup dibangun secara darurat tanggul/salurannya sepanjang dapat mengarahkan aliran air kepada areal yang diperlukan.
Sedangkan untuk pembangunan jembatan/jalan/tanggul secara permanen (rekonstruksi), harus diprogramkan kembali dalam program anggaran kedepan, lalu setelah anggaran disahkan baru dilakukan pelelangan secara terbuka dengan mengikuti mekanisme pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan Pelelangan Umum atau Pelelangan Terbatas dengan berpedoman kepada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, artinya tidak boleh dilakukan dengan mekanisme PL yang didahului dengan penerbitan SPMK.
Demikian pula terhadap pemilihan kontraktor semestinya semua pihak perlu koordinasi dan penuh kehati-hatian sekali serta selektif, karena dengan diterbitkan SPMK dan dalam pemilihan/penunjukan rekanan (Penyedia Jasa) perlu sangat selektif, karena semestinya Penyedia Jasa yang ditunjuk adalah penyedia Jasa yang berpengalaman serta mempunyai kemampuan (Keuangan, Personil, Peralatan atau 3 M = Money, Man, Machine) untuk dapat menyelesaikan pekerjaan darurat tersebut dalam batas waktu yang singkat pula tanpa harus menunggu adanya sumber anggaran dari pemerintah.
Dalam penerbitan SPMK perlu selektif sekali tidak boleh simsalabim, karena dengan diterbitkan SPMK yang nilainya mencapai puluhan milyar akan berakibat terkurasnya anggaran yang cukup besar dan berpeluang terjadinya KKN, karena Penyedia Jasanya ditunjuk langsung tanpa adanya persaingan yang sehat dan akan berakibat pada proses Pengadaan Barang/Jasa yang tidak sepenuhnya menganut asas-asas keterbukaan, bersaing, transparan serta tidak diskriminatif sehingga amanat reformasi sebagaimana yang diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 akan terabaikan.
PL berpeluang ke LP
Banyak SPMK yang diusulkan kepada Gubernur oleh SKPA dengan Rencana Anggaran Biaya yang cukup besar, yang seyogianya mampu untuk penanganan kegiatan permanen. Namun, setelah dilakukan koordinasi dengan instansi terkait ternyata yang layak masuk katagori pekerjaan darurat dan layak diterbitkan SPMK mungkin hanya 10-20% saja dari anggaran biaya yang diusulkan oleh SKPA yang bersangkutan. Tanpa koordinasi akan berpeluang menjadi malapetaka dan dikhawatirkan SPMK tersebut yang bermuara kepada PL dan berpeluang pula ke Lembaga Pemasyarakatan (LP).
Sudah sewajarnya bagi para eksekutif untuk lebih berhati-hati dalam mengkatagorikan pekerjaan dalam katagori bencana alam, karena terus terang sering sekali dalam penerbitan SPMK pada prinsipnya hanya ada sebagian kecil yang masuk katagori bencana alam. Namun, untuk menghindari pelelangan secara terbuka maka pihak eksekutif merancang sedemikian rupa pekerjaan tersebut agar proses pra kontraknya dapat dilakukan dengan penerbitan SPMK dengan menganut azas-azas pekerjaan bencana alam yang apabila kita jeli melihat kasus demi kasus tersebut di lapangan yang dibangun adalah pekerjaan permanen bukan proyek darurat, Semestinya apa yang diusulkan tersebut seharusnya proses pengadaannya dilakukan secara terbuka dengan berpedoman pada Perpres 54 Tahun 2010 dan selayaknya tidak dilakukan dengan penerbitan PL yang didahului dengan penerbitan SPMK.
Semestinya apabila pekerjaan yang tidak masuk katagori bencana alam tersebut proses pelelangannya dilakukan dengan pelelangan terbuka dan bersaing secara bebas, maka dapat diprediksi berapa banyak anggaran yang akan tersisa dan dapat dihemat serta sisanya memungkinkan untuk dianggarkan kembali berupa bantuan kepada para fakir miskin dan pembangunan rumah kaum dhuafa (termasuk pengadaan tanah untuk pertapakan rumah kaum dhuafa yang tidak memiliki tanah) serta bantuan bea siswa kepada para anak yatim untuk menunjang pendidikan mereka maupun untuk kepentingan lainnya seperti pembangunan rumah ibadah yang berdampak positif bagi masyarakat luas dalam provinsi yang kita cintai ini.
* Ir. Zaidan M, Dipl.HE, Pensiunan PNS dan sekarang berstatus sebagai The Individual Contractor (Local Government Institutional Development Consultant) pada UNDP-TRWMP Aceh. Email: z_dadan@yahoo.com