Opini
Menyoal Harga Sawit Aceh
MELEMAHNYA harga ekspor crude palm oil (CPO) di pasar dunia adalah satu penyebab melorotnya harga tandan buah segar (TBS) sawit, yang terjadi
MELEMAHNYA harga ekspor crude palm oil (CPO) di pasar dunia adalah satu penyebab melorotnya harga tandan buah segar (TBS) sawit, yang terjadi sudah lebih dari enam bulan terakhir. Di sisi lain, para pekebun sawit juga harus berhadapan dengan masalah permainan harga yang kerap terjadi di sentra produksi yang tidak memiliki pabrik pengolah kelapa sawit (PKS), seperti Aceh Barat Daya (Abdya).
Pengaruh pasar ekspor berdampak pada semua sentra penghasil sawit dan seiring membaik harga di pasar dunia pembelian di tingkat petani juga membaik. Masalahnya harga TBS yang rendah sering pula disebabkan oleh permainan harga. Pedagang pengumpul dan perusahaan PKS adalah ‘dalang’ dari permainan ini. Di sentra produksi sawit dengan unit PKS dan kapasitas pengolahan terbatas permainan harga leluasa dipraktikkan.
Petani yang tidak memiliki akses kuat pada PKS dan tidak ada PKS milik petani atau milik koperasi petani, misalnya, membuat mereka sering dirugikan. Ketika pengumpul dan PKS mematok harga sepihak mereka tidak punya pilihan, terpaksa tetap menjual hasil panennya meski harga murah. Petani sawit di Aceh sering jadi korban dari “mangsa” pihak yang ingin mengeruk untung besar itu.
Pemerintah sudah menyiapkan katup pengaman dari permainan harga, seperti Permentan Nomor 17/kpts/ot.140/02/2010 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun adalah salah satunya. Permentan ini menegaskan bahwa pemerintah daerah melalui instansi berwenang seperti Dinas Perkebunan, pengusaha PKS dan petani sawit secara reguler paling sedikit sebulan sekali melakukan penetapan harga bersama.
Rumusan harga TBS
Dalam merumuskan harga TBS ada beberapa komponen yang perlu dilihat, antara lain harga ekspor CPO, harga rendamen inti sawit, harga rendamen minyak sawit kasar dan harga rata-rata inti sawit. Petani diwakili pengurus asosiasi petani kelapa sawit turut hadir merumuskan harga baru sesuai dengan perkembagan harga berbagai kompanen penentu tadi. Sentra produksi sawit di luar Aceh sudah lama menggunakan aturan ini dalam melindungi pekebun dari harga yang tidak fair.
Masih terbatasnya jumlah pabrik sawit mungkin satu penghambat penerapan ketentuan itu, tapi boleh jadi pemerintah belum merasa perlu menaruh perhatian dalam soal ini. Beberapa kabupaten di Aceh seperti Aceh Temiang, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Singkil dan Subulussalam memiliki pabrik yang memadai. Seharusnya di sentra produksi sawit itu dapat diterapkan ketentuan tersebut, apalagi petani disana juga menghadapi masalah rendahnya harga beli TBS ditingkat petani.
Ironi sekali bagi pesawit di Aceh yang merupakan satu provinsi pionir dalam usaha perkebunan sawit. Dilihat dari perspektif sejarah Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) adalah pionir penanaman sawit di Indonesia (Laporan: Environmental Service Program-USAID, 2010). Perusahaan perkebunan besar swasta asing asal Belgia, yaitu PT Socfin Indonesia (Socfindo) sudah mengusahakan sawit di Aceh dan Sumut sejak 1911.
Setelah lebih dari 70 tahun kemudian pertumbuhan luas kebun dan produksi sawit di Aceh jauh tertinggal dibanding Sumut. Share minyak sawit mentah (CPO) asal Sumut terhadap produksi CPO nasional sudah mencapai 25% dari total produksi nasional 20 juta ton lebih pada 2010. Sementara Aceh hanya 3% saja. Investasi perusahaan PKS juga demikian.
Situasi kemanan yang seringkali tidak kondusif membuat investor bidang persawitan enggan membuka usahanya di Aceh. Masih menurut laporan ESP-USAID, pada masa konflik perusahaan PKS di Aceh kekurangan TBS untuk diolah. Pabrik pengolah beroperasi di bawah kapasitasnya atau hanya sekitar 60-70%. Ketika itu kebun sawit milik perusahaan besar maupun milik petani tidak terawat secara baik, produktivitasnya rendah dan perluasan kebun baru mengalami stagnasi.
Sejak perjanjian damai perusahaan perkebunan sawit maupun petani kembali merawat kebunnya. Produksi kembali normal, kebun baru dibuka dimana-mana. Apalagi sejak Pemerintah Aceh mencanangkan program pengembangan kelapa sawit rakyat di Desa Lama Tuha, Kecamatan Kuala Batee, Abdya, pada 2008 lalu, dengan target lahan seluas 11.000 hektare yang tersebar di 13 kabupaten.
Animo petani mengembangkan sawit demikian besar. Pertumbuhan produksi TBS tidak diiringi penambahan jumlah PKS. Seperti yang dikatakan para ahli ekonomi terjadi over supply atau kelebihan penawaran akibat produksi lebih besar dari kapasitas olah pabrik yang ada. Harga TBS Aceh jadi lebih murah dibanding sentra produksi di luar Aceh.
Di Aceh perkebunan sawit paling luas ada di wilayah Barat-Selatan, Nagan Raya misalnya pada 2009 memiliki kebun lebih dari 42 ribu hektare dan 12.000-an hektar kebun milik masyarakat. Kawasan ini pula yang mengalami kekurangan PKS paling besar dan karenanya TBS petani kawasan ini sebagian diangkut ke Geurugok, Aceh Utara, bahkan sampai ke Sumut. Sementara di PKS yang ada di wilayah ini di Aceh Barat sampai ke Singkil terjadi antrean truk pengangkut TBS sampai berhari-hari.
Nasib PKS Abdya
Sementara pembangunan PKS yang direncanakan pemerintah Abdya pada periode 2007-2012 sudah berdiri tegak ditengah semak belukar desa Ie Mirah, kecamatan Babahrot masih belum beroperasi. Dulu ketika rencana pembangunan PKS ini dicetus menimbulkan polemik panjang antara pemerintah dengan DPRK setempat. Perdebatan berkutat seputar layak dan tidak layan pembangunan PKS di daerah ini dan boleh-tidaknya dana yang bersumber dari alokasi otonomi khusus (Otsus) sebanyak 30 Milyar digunakan untuk membangun PKS. hingga kini belum jelas akhir riwayatnya. Jadi terbengkalai atau akan diteruskan sampai siap dioperasikan.
Terlepas dari polemik yang sudah berlalu itu, kini petani sawit berharap Abdya memiliki PKS. Harga TBS di Abdya yang selalu lebih murah di banding kabupaten tetangganya Nagan Raya, Aceh Barat maupun dibanding harga di Subussalam dan singkil. Apalagi dibanding harga pada sentra produksi sawit di luar Aceh seperti Sumut, Riau atau Lampung, pekebun di Abdya menerima harga lebih murah Rp 400-450/kg. Artinya setiap 1 ton sawit, pekebun daerah ini dirugikan Rp 400.000-450.000.
Juli tahun lalu harga beli di tingkat petani di Abdya misalnya pernah jatuh hingga Rp 400-450 untuk TBS di bawah 5 tahun dan Rp 600-650 per kg untuk TBS di atas 5 tahun, (Serambi, 25/6/2012). Sementara di daerah yang memiliki PKS seperti Singkil dan Subulussalam maupun Nagan Raya harga beli pada pekebun (petani) masih lebih baik berkisar Rp 750-850/kg. Meski juga melemah, pada sentra produksi sawit di Sumatera harga beli TBS pada petani Rp 1.200-1.300/kg TBS dari kebun di atas 5 tahun.