Breaking News

KAI

Hukum Pendangkalan Akidah

Akhir-akhir ini banyak upaya yang menjurus kepada pengdangkalan aqidah dan pemurtadan baik secara langsung ataupun melalui

Editor: bakri

Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb.

Akhir-akhir ini banyak upaya yang menjurus kepada pengdangkalan aqidah dan pemurtadan baik secara langsung ataupun melalui pengajian-pengajian terselubung; Ada yang mengatasnamakan tharikat, hakikat dan macam namanya, yang pokok upayanya adalah meragu-ragukan umat terhadap kebenaran Islam dan menyeretnya untuk menjadi murtad. Oleh karena itu, saya sangat ingin tahu tentang hukum murtad; Pengertian, hukum dan dasar-dasar pengenaan sanksi terhadap pelakunya, agar kita lebih hati-hati dan waspada. Atas penjelasan dan jawaban Ustaz saya ucapkan banyak terima kasih.

Kamal Pasya
Tanjung Balai, Sumut

Jawaban:
Sdr Kamal Pasya, yth
Waalaikumussalam wr wb.

Pengertian riddah atau murtad adalah sebagai berikut: Menurut Al Kasani al Hanafi bahwa sudah termasuk murtad orang-orang yang melontarkan kalimat kufur dengan lisan setelah adanya iman, jadi riddah adalah kem-balinya seseorang dari keimanan kepada kekufuran. Ash Shaawi al Maliki berkata: “Riddah adalah kufurnya seorang muslim dengan ucapan terang-terangan, atau ucapan yang yang menjurus kepada kekafiran atau mengerjakan sesuatu yang mengandung kekufuran.”

Sedang menurut Asy Syarbaini asy Syafi’i, riddah adalah memutuskan atau melepaskan diri dari Islam dengan niat ataupun perbuatan, demikian pula ucapan baik yang berupa olok-olok, penentangan ataupun berbentuk keyakinan. Adapun Al Bahuti al Hanbali berpendapat bahwa orang murtad menurut syara’ yaitu orang yang ingkar (kufur) setelah keislamannya baik berupa ucapan, keyakinan, keraguan ataupun perbuatan.

Dari pengertian dan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa riddah (murtad) adalah kembali atau berbaliknya seseorang dari keimanan sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh).” (QS. Al-Maidah: 21).

Berbaliknya seseorang dari Islam dapat saja dalam bentuk i’tiqad (keyakinan), ucapan dan perbuatan, dan ini sejalan dengan pengertian iman yang juga mencakup keyakinan hati, ucapan lisan dan perbuatan anggota badan. Atau secara rinci bentuk riddah dapat kita jabarkan sbb: 1. Riddah dengan ucapan hati seperti mendustakan wahyu yang diturunkan Allah, tidak mengimani bahwa semua ayat Quran itu kalamullah atau berkeyakinan adanya pencipta selain Allah dsb;

2. Riddah dengan hati seperti membenci Allah dan Rasulullah, meyakini zina seks adalah halal dan tidak mau mengikuti perintah Rasul saw; 3. Riddah dengan ucapan lisan seperti mencela Allah atau Rasulullah, berolok-olok terhadap agama dan sebagainya, dan; 4. Riddah dengan perbuatan anggota badan seperti sujud kepada berhala, menghina Alquran, mempengaruhi orang lain berzina dengan imingan uang dan lain sebagainya.

Hukuman bagi orang murtad (pelaku riddah) atau adalah dapat dikenakan hukuman bunuh (mati) tentunya setelah melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penetapan keputusan oleh Mahkamah Syar’iyah. Eksekusi tentunya setelah ada keputusan yang berkekuatan hukum.

Orang murtad yang dihukum mati itu tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Juga tidak berhak saling waris mewarisi dengan kerabatnya yang muslim serta hartanya merupakan harta fai’ (rampasan namun bukan karena perang) diserahkan kepada Baitul Mal untuk pengelolaan.

Di antara dalil yang menunjukkan pensyariatan hukuman mati bagi orang murtad adalah hadis riwayat Imam Bukhari, bahwa Ali bin Abi Thalib ra pernah menghukum orang zindik dengan cara membakar. Lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas ra, maka ia berkata: “Kalau saja aku pada tempatmu, maka aku tidak membakar mereka karena larangan Nabi: Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah. Dan yang aku lakukan adalah membunuh mereka sebagaimana sabda Rasulullah saw: Barang siapa yang mengganti agamanya (murtad, red) maka bunuhlah ia.”

Maksud dari mengganti agama adalah mengganti Islam dengan agama lain, atau mencampuradukkan dengan agama lain, baik dengan tetap menjaga nama agama itu, atau dengan memberikan nama baru, sebagaimana firman Allah: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari padanya.” (QS. Ali Imran: 85).

Para sahabat senantiasa memegang teguh hukum ini. Dalam sebuah riwayat ketika Muadz bin Jabal mengunjungi Abu Musa Al Asy’ari (ketika itu keduanya sama-sama menjadi Amir di Yaman) ia melihat ada seorang laki-laki yang sedang diikat, maka Muadz bertanya: “Siapakah orang ini?” Abu Musa menjawab: “Ia dulu seorang Yahudi, kemudian masuk Islam namun kini berbalik lagi menjadi Yahudi. Abu Musa melanjutkan: “Silakan duduk!” Muadz lalu menjawab: “Tidak! Aku tidak akan duduk sehingga hukum Allah dan RasulNya ditegakkan untuk orang ini (ia mengucapkan ini tiga kali).” Maka diputuskanlah perkara orang tersebut dan akhirnya dihukum mati. (HR. Bukhari).

Dalam Al Bidayah, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa-peritiwa di tahun 167 H di antaranya adalah: “Al-Mahdi senantiasa memantau perkembangan para zindik di seluruh penjuru negeri, menghadirkan serta mengadili mereka. Lalu menghukum mati mereka dalam jarak hanya sejengkal dari hadapannya.”

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved