Opini
Mukim atau Kemukiman?
SEJAK disahkannya Qanun No.4 Tahun 2003 tentang Mukim, sebagai tindak lanjut dari UU No.44 Tahun 1999 dan UU No.18 Tahun 2003, hingga saat ini
Contoh lain: pada masa sebelum kolonial, di Jawa Barat, di bawah Bupati (adipati) terdapat pegawai-pegawai yang diberi tugas untuk memungut pajak. Daerah penarikan pajak yang meliputi beberapa desa dikepalai oleh seorang pegawai yang dinamakan “camat”. Beberapa camat dikepalai oleh seorang yang dinamakan “cutak” (Soetardjo 1984: 381)”. Wilayah tugas dari seorang camat di Jawa Barat tersebut kemudian menjadi cikal bakal sebutan kecamatan.
Jika merujuk kepada pola tersebut, penggunaan istilah “kemukiman” juga tidak sesuai digunakan dalam konteks mukim, karena istilah mukim, bukan merujuk kepada gelar atau nama jabatan. Akan tetapi merupakan sebutan untuk sebuah wilayah, sekaligus sebagai lembaga. Sedangkan pemimpin dari sebuah wilayah mukim disebut dengan imuem mukim. Selain itu, kalau pola penyebutan “mukim menjadi kemukiman” diterapkan pada gampong, maka “gampong akan menjadi kegampongan”. Pola ini tentu saja janggal rasanya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, sudah pada tempatnya pemerintah kabupaten/kota meninjau kembali penggunaan sebutan “kemukiman” dalam kop surat dan menggantinya dengan sebutan “mukim”. Agar kekeliruan penulisan sebutan mukim tidak terus berlanjut, diperlukan peran aktif dari pemerintah kabupaten/kota, khususnya dari Bagian Bidang Tata Pemerintahan Mukim dan Gampong.
* Sanusi M. Syarif, Peneliti Mukim dan Gampong, tinggal di Aceh Besar. Email: sanusi_syarif@yahoo.com