Breaking News

KAI

Hikmah Puasa dan Dalil Hukumnya

Bersama ini saya ingin menyampaikan bahwa puasa Ramadhan semua kita mengimani kewajibannya dan kita pun harus menunaikan sesuai dengan petunjuk

Editor: hasyim

Diasuh oleh: Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA.

Pertanyaan:
Teungku Pengasuh KAI yang Mulia,
Assalamualaikum wr wb.
Bersama ini saya ingin menyampaikan bahwa puasa Ramadhan semua kita mengimani kewajibannya dan kita pun harus menunaikan sesuai dengan petunjuk Allah dan RasulNya. Namun kita juga meyakini, kalaulah kita mengetahui hikmah pentasyriatannya, pastilah kita akan lebih yakin, khusyuk, tawadhu’ dan ihtisaaban dalam melaksanakannya.

Oleh karena itu, kami berharap, kiranya Teungku dapat menguraikan hikmah-hikmahnya di Serambi, agar kami masyarakat awam dapat memahaminya. Atas perhatian dan kesediaannya, kami mengucapkan banyak terima kasih.

Samsul Anwar
Idi Cut, Aceh Timur.

Jawaban:
Yth. Saudara Samsul Anwar di tempat.
Waalaikumussalam wr wb.
Terima kasih banyak atas pertanyaannya yang amat menarik, lebih menarik lagi karena anda menyebutkan diri anda sebagai orang awam. Menurut hemat pengasuh saudara adalah orang yang tawadhu’, merunduk seperti padi yang makin berisi. ‘Alaa kulli haal, imanilah, sesungguhnya Allah tidak akan mensyariatkan sesuai kecuali apabila ada hikmah di belakangnya.

Hikmahnya itu adalah untuk kita selaku hambaNya, bukan untuk Allah, sebagaimana firmanNya melalui lidah Musa as: “Dan Musa pun berkata (kepada kaumnya): Kalau pun kamu dan semua umat manusia semuanya kufur kepada Allah, sesungguhnya Ia tetap Mahakaya dan Mahaterpuji.” (QS. Ibrahim: 8).

Saudara, sesungguhnya, hikmah puasa itu telah terangkum dalam firman Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Dalam ayat ini, Allah swt tidak menggunakan redaksi: “Agar kamu sekalian menderita”, atau “sehat”, atau “bersahaja (hemat)”. Akan tetapi Allah menggunakan redaksi, “agar kamu sekalian bertakwa”.

Dengan demikian, melalui ayat tersebut dapat kita pahami bahwa Allah swt menjadikan puasa sebagai ujian rohani (spiritual) dan moral, dan sebagai media (sarana) untuk mencapai sifat dan derajat orang-orang yang bertakwa. Allah swt menjadikan pula takwa sebagai tujuan utama dari pengalaman ibadah puasa tersebut.

Ibnu Mas’ud ra. merumuskan sebuah kaidah dalam memahami ayat Alquran yang diawali dengan seruan, Hai orang-orang yang beriman, “Jika kalian mendengar atau membaca ayat Alquran yang diawali dengan seruan, hai orang-orang yang beriman, maka perhatikanlah dengan saksama, karena setelah seruan itu pastilah ada sebuah kebaikan yang Allah perintahkan, atau sebuah keburukan yang Allah larang.”

Di dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin, Imam Al-Ghazali menguraikan hikmah puasa, beliau mengatakan: “Tujuan puasa adalah agar kita berakhlak dengan akhlak Allah swt, dan meneladani perilaku malaikat dalam hal menahan diri dari hawa nafsu, sesungguhnya malaikat bersih dari hawa nafsu. Manusia adalah makhluk yang memiliki kedudukan (derajat) di atas binatang karena dengan cahaya akal pikirannya ia mampu mengalahkan hawa nafsunya, dan di bawah derajat malaikat karena manusia diliputi hawa nafsu. Manusia diuji dengan melakukan jihad melawan hawa nafsunya. Jika ia terbuai oleh hawa nafsu, ia jatuh ke dalam derajat yang paling rendah, masuk dalam perilaku binatang. Dan Jika ia dapat menundukkan (mengekang) hawa nafsunya, ia naik ke derajat yang paling tinggi dan masuk dalam tingkatan malaikat.”

Mengomentari masalah ini, Ibnul-Qayyim menjelaskan hikmah puasa dengan lebih rinci: “Tujuan puasa adalah mengekang diri dari hawa nafsu, untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan hakiki serta kehidupan yang suci dan abadi, turut merasakan lapar dan dahaga yang teramat sangat agar peka terhadap rasa lapar kaum fakir miskin, mempersempit jalan setan dengan mempersempit jalur makan dan minum, mengontrol kekuatan tubuh yang begitu liar karena pengaruh tabiat sehingga membahayakan kehidupan dunia dan akhirat, menenangkan masing-masing organ dan setiap kekuatan dari keliarannya, dan menali-kendalinya. Sebab puasa merupakan tali kendali dan perisai bagi orang-orang yang bertakwa serta training (penggemblengan) diri bagi orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah swt.”

“Puasa memiliki pengaruh dan potensi kekuatan yang luar biasa dalam memelihara anggota badan dari memakan barang yang merusak kesehatan. Puasa memelihara kesehatan jiwa dan raga, dan mengembalikan apa yang telah dirampas oleh kekuatan hawa nafsu. Puasa adalah media yang paling baik untuk membantu mencapai derajat taqwa.”

Syaikh Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsir Al-Maraghi mengatakan, ada beberapa sisi puasa yang dapat mengantarkan manusia meraih gelar muttaqin: Pertama, puasa membiasakan seseorang takut kepada Allah swt, karena orang yang sedang berpuasa tidak ada yang mengontrol dan melihat kecuali Allah swt.

Kedua, puasa mampu menghancurkan tajamnya syahwat dan mengendalikan nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya nikah itu bisa menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa sungguh-sungguh dapat mengendalikan syahwat.”

Ketiga, puasa membiasakan seseorang berkasih sayang. Membiasakan untuk selalu berkurban dan bersedekah. Di saat ia melihat orang lain serba kekurangan, tersentuhlah hatinya untuk berbagi kepadanya. Keempat, puasa membiasakan keteraturan hidup, yaitu orang yang berpuasa akan berbuka pada waktu yang sama, dan tidak ada yang lebih dulu karena kehormatan, harta, atau jabatan, misalnya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved