Cerpen
Persimpangan
DI PERSIMPANGAN itu, agak menikung ke kanan, di dekat toko buah, gadis itu berdiri menenteng baki kue
Aku melihat gadis itu tertawa. Gigi-giginya putih. Bagaimana aku bisa menolak karya Tuhan yang sempurna ini. Jantungku berdetak kencang. Andai aku bisa menghadap orangtuanya dan menjadikannya pencerah hidup.
Sungguh tidak ada alasan untuk membasmi perasaan yang mulai tumbuh ini. Aku menyenandungkan sebuah lagu cinta. Dalam tubuhku, aku dapat merasakan darah yang menuju jantungku mengalir lebih cepat.
Dan aku mulai takut apabila ada laki-laki lain yang mencoba mendekati gadis itu. Aku mulai berpikir, apa yang terjadi apabila orang-orang di warung kopi tadi, maksudku bandit yang telah menamparku, ingin menghilangkan nyawa gadis itu? Apakah aku akan berani melawan mereka. Tiba-tiba badanku menjadi dingin.
Mereka akan menembak gadis itu. Dan dari sudut ini aku akan melihat kejadian tersebut. Sanggupkah aku menyelamatkan gadis impianku itu?
Pikiran lain tiba-tiba melintas. Sebuah pertanyaan dari sudut paling kelam dari hatiku: apabila dia bukan seorang gadis rupawan, tapi seorang gadis yang berkulit hitam dan buruk rupa, apa mungkin aku akan menolongnya?
Aku mulai linglung oleh pertanyaan-pertanyaan yang jahanam ini.
Si pejabat teras dan kawannya keluar dari kedai kopi. Para pengawal berbaju loreng merah-hitam mengikutinya. Oh rupanya perempuan gempal yang memakai rok selutut kawan mereka juga. Mereka saling melambaikan tangan, meskipun menaiki mobil yang berbeda.
Di tengah kebingungan, aku menatap kembali gadis idamanku. Tetapi.gadis impianku sudah tidak ada. Aku mencarinya ke sudut-sudut lain. Aku menemukan gadis itu. Wajah gadis itu berubah. Dia sekarang punya wajah yang paling mengerikan. Aku melihat tangan kanannya menyibakkan rok; menyentuh sesuatu pada pahanya.
Terdengar bunyi letusan senjata api.
Si brewok dan si lelaki berambut putih jatuh terkapar. Orang-orang di persimpangan itu melupakan gadis itu. Mereka berkerumun melihat dua tubuh tak bernyawa di persimpangan itu.
Aku melihat gadis itu menarik pelatuk. Setelah itu dia pun melihatku. Mata kami beradu. Dia tersenyum. Ya Tuhan dia masih sempat menggodaku. Aku berdiri kaku, entah gemetar oleh kejadian itu, atau oleh godaannya. Mungkin keduanya. Lalu aku melihat gadis impianku itu dijemput oleh sebuah mobil hitam. Dalam sekejap mobil itu meluncur menuju arah selatan.
Hingga bertahun-tahun kemudian aku tak bisa melupakan gadis yang aku cintai itu, gadis pemberani, berbaju merah, berjilbab kuning.
* Muarrief Rahmat, mahasiswa Bimbingan dan Konseling FKIP Unsyiah, anggota FLP Aceh. Aktif di PII Aceh