Cerpen

Ramadan Yang Suram

OH, kami minta maaf,” kata tentara itu. “Kalau dia memang teman karib Anda, kami minta maaf,” sambung dia sambil memeluk

Editor: bakri

Kiranya sudah lama juga kami berbicara ketika tentara itu hendak pergi ke kamar kecil di belakang warung. Dia langsung pergi tanpa membawa senjata. Dan AK-47 itu hanya diletakkan di atas meja kopi. Sebenarnya aku ingin segera berseru, bawa saja senjatanya sekalian ke kamar kecil, tapi entah bagaimana, hal demikian rasanya tidak enak. Dan selama tentara itu masih di kamar kecil, kami saling berpandang-pandangan.

Kami memang yakin, AK-47 itu pasti dalam kondisi terkunci dengan rapi. Tapi ada peristiwa yang nyaris tiap hari terjadi di kecamatan-kecamatan lain yakni tentang para pemuda kampung yang nekad merampas senjata tentara, membuat kami menganggap teman baru kami itu terlalu gegabah atau terlalu berani atau memang dia percaya pada kami. Atau mungkin, diam-diam, sejak tadi beberapa anak buahnya sedang berada di suatu sudut tertentu di los pasar dekat warung dan mengawasi kami dengan mata mereka yang tak berkedip.

Oh, aku dan Pak Hamidi sangat ketakutan malam itu. Soalnya di antara kami ada seorang teman yang meskipun dia terlihat akrab dengan tentara, tapi kami tahu persis, jauh di lubuk hatinya dia adalah seorang pemuda berjiwa pemberontak. Kami tahu persis itu.  Pemuda yang aku maksud ini, punya ikatan  kekeluargaan dengan seorang tokoh gerilyawan. Lagi pun, malam itu, tentara itu keluar ke pasar tanpa dikawal anak buahnya - terlepas bahwa ada kemungkinan anak buahnya bersembunyi di kegelapan los pasar di seberang sana untuk melindungi komandannya. Dan teman kami yang berjiwa pemberontak ada di dekat senjata tanpa tuan.

Ya ampun. Saya dan Pak Hamidi tiba-tiba berkonsentrasi penuh pada gerak tubuh si teman. Bila sedikit saja ada gerakan yang mencurigakan, kami akan segera beraksi untuk melindungi senjata itu. Sebab, kalau ia sempat membawa lari senjata itu, bukan tidak mungkin, semua warga yang tinggal di sekitar pasar akan terkena getahnya, akan ada pembakaran, akan ada pembunuhan. Akan tiba truk-truk reo dari kesatuan-kesatuan lain. Apalagi kami kelompok pemuda di pasar ini, pasti semua akan mati, minimal akan mengalami cacat tubuh.

Tapi syukurlah, sebelum semua itu terjadi, tentara itu kembali dari kamar kecil. Ya, aku masih ingat. Saat itu tahun 2003. Di mana bulan puasa tahun itu merupakan Ramadan paling suram di negeri kami. Tak banyak pemuda yang bertadarus di meunasah karena khawatir keluar malam. Suasana desa-desa pedalaman di kecamatan kami sunyi pada malam hari. Shalat Isya dan Tarawih hanya dihadiri jamaah perempuan dan kaum laki-laki tua. Bahkan beberapa kampung yang berdekatan dengan gunung telah kosong karena penghuninya diwajibkan mengungsi ke lokasi yang ditentukan pihak militer. Kukira, saat itu, setiap jiwa kami adalah jiwa-jiwa yang mati, minimal sangsai penuh was-was.

Dan yang paling kukenang kala itu, saat keesokan malamnya, tentara itu tidak singgah lagi di warung kami. Dan kami tahu ia tak akan singgah lagi untuk selama-lamanya. Dan aku segera terkenang Idul Fitri yang sepi di Pulau Jawa, yang harus dijalani anak-anak dan istrinya dengan penuh nelangsa. Juga sebagaimana Idul Fitri yang sunyi yang harus dijalani anak-anak dan istri temanku, Hanafiah.
(Kembang Tanjong, Juni 2014)

* Musmarwan Abdullah, adalah sastrawan kelahiran Pidie. Buku kumpulan ceritanya yang telah terbit,  Pada Tikungan Berikutnya (Lapena, 2007)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved