Cerpen

Keluarga Besar

Semua kisah ini dimulai dari sebuah patung di simpang tiga dekat pasar 7 Ulu. Apabila berjalan ke kanan kau akan menuju

Editor: bakri

***

Ketika beduk maghrib ditabuh, jalanan bercabang di jalan itu pun mulai sesak. Pasar memang sudah selesai, tetapi arus jalan kepulangan kerja berada pada jam yang membikin kepala mendidih, karena macet di mana-mana. Klakson motor, mobil, dan asap knalpot mengangkasa di jalanan. Di pertigaan itu, arus jadi rebutan. Tidak ada yang mau mengalah, semua ingin lebih dulu sampai rumah, yang akhirnya menyebabkan saling rebutan jalan, yang akhirnya menyebabkan kemacetan panjang di kedua arah, yang tidak bisa diurai dengan mudah.

Orang-orang berdiam di atas kendaraannya. Di atas bus, pengamen menyanyikan lagu balada jalanan. Petang yang turun pelahan-lahan itu diringi oleh anak-anak muda bergaya punk dan kumal yang berjalan dengan tanpa menggunakan alas kaki, menggenjreng gitar tua yang peliturnya sudah luntur dan mereknya mengabur.

Gerombolan itu berjalan menuju petak segitiga di mana patung berada. Patung itu jadi semacam rumah tempat para pemuda itu pulang. Mereka mulai membagi tempat, berbagi petak di atas undakan batu penumpu empat patung manusia. Mereka duduk dan berbaring tersusun mengelilingi patung.

Empat patung perwujudan konsep keluarga berencana itu kini tidak lagi kesepian. Mereka mendapat orang baru yang menemani kebekuan mereka, yang menjelang gelap akan turut menjadi patung: beku dalam lelap tidurnya.

“Patung keluarga berencana, sekarang punya anak banyak. Lihat!” si mahasiswa menunjuk ke luar kaca pada sebuah perjalanannya yang lain. Ia mengucapkan itu setelah mengguncang-guncang tubuh orang di sampingnya yang masih separuh tersadar dari tidur ayamnya. Selusin anak muda bertelanjang dada, berkaos oblong robek-robek, bocah bertindik dan bertato, juga dua orang muda yang masih mencekik botol minuman keras merek topi miring. Semua anak itu benar-benar sudah miring.

“Patung itu punya keluarga besar,” ucapnya yang bersamaan dengan itu diikuti suara knalpot kendaraan yang menyisakan kebisingan, menderulah berisik itu di udara, bersiap meninggalkan sepotong malam, dan meninggalkan sengkarut kekacauan lalu lintas jalan itu.

Si mahasiswa mempunyai bahan lagi untuk menulis surat pembaca. Pemerintah memang harus terus-menerus dikirimi surat pembaca untuk bergerak.

Selama duduk di bus itu dia sibuk merangkai-rangkai kalimat. Dia memutuskan akan membantu Dinas Pertamanan kota menjawab surat yang sempat ditulisnya.

Semua kisah ini kutulis bermula oleh sebuah patung di simpang tiga dekat pasar 7 Ulu, dan barangkali akan kuakhiri di sini pula.

Kau bertanya, dengan apa aku akan mengakhiri kisah ini?

Aku tidak akan menutupnya secara khusus dengan menuliskan epilog pada kisah ini. Untuk tahu kelanjutan semua peristiwa ini, aku memintamu untuk menengok keadaan petak patung itu sendiri, atau kalau kau tidak sempat berkunjung ke sana, bacalah surat pembaca yang ditulis si mahasiswa di harian Berita Kesiangan yang barangkali akan terbit besok pagi-atau sesuai namanya baru bisa didapatkan menjelang siang.

Palembang, 20 Juni 2013

* Wendy Fermana, lahir di Palembang, 10 November 1994. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sriwijaya. Cerita pendek dan puisinya dipublikasikan majalah Horison, harian Suara Karya, harian Sumatera Ekspres, harian Berita Pagi, harian Linggau Pos, dan harian Serambi Indonesia.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved