Serambi MIHRAB
Saham Online dalam Pandangan Islam
MASIH ingat kasus puluhan warga Aceh Barat dan Aceh Barat Daya (Abdya) mengaku rugi ratusan juta rupiah
Dalam operasionalnya, kebanyakan perusahaan penerbit saham ini menawarkan jumlah keuntungan tertentu serta menjamin keuntungan secara pasti sejak awal kepada pembeli saham. Misalnya, Polem Kapluk membeli saham sebanyak Rp 10 juta untuk jangka waktu 5 bulan, beliau dijamin mendapat keuntungan dengan jumlah tertentu, katakanlah Rp 2 juta atau 20% dari jumlah modal yang diinvestasikan. Ulama telah bersepakat bahwa jaminan keuntungan yang ditentukan sebelumnya (pre-determined atau ex-ante) ini jelas bertentangan dengan syarat perjanjian investasi dalam Islam. Hukumnya adalah haram karena ia adalah riba. Rasulullah saw bersabda: “(Untuk mendapatkan) keuntungan (hasil investasi) mestilah dengan menghadapi resiko (bermakna tiada untung tetap dijanjikan dan investor mesti menjamin kualitas barang yang dijual).” (HR As-Syafi’ie, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Abu Daud).
Menurut syariat, pembagian hasil (profit-loss sharing) itu haruslah ditetapkan dengan persentase tertentu, bukannya dalam jumlah tertentu. Misalnya, persentase pembagian keuntungan itu ditetapkan 50:50 (50% keuntungan itu dibagi untuk perusahaan dan 50% untuk pemegang saham). Artinya, semakin banyak keuntungan yang diperoleh, maka semakin banyak jatah keuntungan yang diterima mereka. Besarnya pembagian jumlah keuntungan yang diterima perusahaan dan pembeli saham tidak diketahui sebelum jatuh tempo. Cara penentuan keuntungan yang tidak ditentukan sebelumnya (post-determined atau ex-post) ini adalah selaras dengan syariat.
Kedua, isu di mana uang pembeli saham diinvestasikan oleh perusahaan penerbit saham. Pembeli saham (investor) harus berusaha untuk mengetahui dimanakah uang mereka diinvestasikan. Jika ia diinvestasikan di tempat-tempat yang diharamkan, seperti di industri arak, prostitusi, perjudian, peternakan babi, instrumen riba, dan transaksi valuta asing (valas), maka keuntungan dari investasi itu adalah haram. Fakta menunjukkan bahwa banyak sekali perusahaan penerbit saham yang mencampuradukkan antara investasi di sektor-sektor halal dengan haram dan syubhat.
Transaksi valas yang halal adalah transaksi penukaran valas yang serah terimanya berlaku (taqabudh) pada saat transaksi terjadi, seperti penukaran valas ketika kita berpergian keluar negara karena ia merupakan kebutuhan transaksi di negara bersangkutan. Jika serah terima valas tidak berlaku pada waktu yang sama seperti penyerahan tertunda, maka transaksi itu adalah bertentangan dangan syariat. Rasululullah saw bersabda: “Emas dengan emas (ditukar atau diperdagangkan), perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam mestilah sama timbangan dan sukatannya, dan ditukar langsung (pada waktu bersamaan) dan sekiranya berlainan jenis, maka berjual-belilah kamu sebagaimana yang disukai.” (HR. Muslim).
Ketiga, isu gharar (ketidakpastian) terkait dengan besarnya kemungkinan para investor (pembeli saham) akan ditipu oleh perusahaan penerbit saham. Banyak perusahaan penerbit saham yang tidah mempublikasikan atau menyembunyikan status, indentitas, kondisi finansial serta aktivitas bisnis yang digeluti. Transaksi pembelian saham hanya dilakukan via internet dan segala perjanjiannya juga dibuat melalui internet. Banyak yang membeli saham via internet karena tergiur dengan keuntungan tetap yang dijanjikan. Ada juga yang beralasan sekadar mencoba nasib dengan hanya menginvestasi uang sedikit, namun berharap meraih untung yang banyak.
Biarpun jumlah uang yang diinvestasikan itu sedikit, tapi pada hakikatnya uang itu adalah amanah Allah yang wajib kita jaga dan akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Kita tidak bisa menggunakannya di sektor yang mengandungi elemen gharar. Rasulullah bersabda: “Nabi saw melarang dari berjual beli dengan kewujudan gharar.” (HR. Muslim). Karena mengharapkan untung yang banyak dalam tempo yang singkat, para pembeli saham tidak peduli bagaimana nasib uang mereka seandainya perusahaan penerbit saham tersebut menutup website-nya di internet. Kemana uang yang diinvestasi itu harus dituntut?
Jadi sangat mustahil bagi kita untuk memastikan bahwa bisnis yang digeluti perusahaan itu sesuai dengan ketentuan agama. Memang ada beberapa website yang bersifat interaktif. Pembeli saham bisa menanyakan kemana uang mereka akan diinvestasikan. Walaupun website bersangkutan menjawab bahwa uang itu tidak diinvestasikan di sektor-sektor yang diharamkan, tapi siapakah yang mampu memastikan dan menjamin bahwa jawaban mereka adalah benar? Inilah sebabnya, setiap perusahaan penerbit saham harus memiliki DPS-nya sendiri yang kredibel.
Last but not least, selain tidak memenuhi kriteria minimum rasio keuangan dan membayar zakat (seperti diulas di bagian pertama tulisan ini), aktivitas perusahaan penerbit saham juga mengandungi elemen-elemen riba, gharar, dan penipuan. Atas landasan inilah ulama bersepakat bahwa membeli saham via internet adalah haram. Hal ini selaras dengan hadis: “Dari Abu Muhammad al-Hassan Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah dan penawar hati Baginda. Beliau berkata: Aku menghafal dari pada Rasulullah: Tinggalkanlah apa yang meragukan kepada apa yang tidak meragukan.”
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |