Cerpen
Merindukan Purnama
PADA sore berkabut, dia menuruni Sungai Kuranji dengan terbungkuk
Karya Farizal Sikumbang
PADA sore berkabut, dia menuruni Sungai Kuranji dengan terbungkuk. Pinggangnya yang seminggu belakangan ini sakit,sesekali dielusnya. Jalan menuju ke bawah sungai hanyalah setapak. Berkelok dan sedikit menanjak. Sangat hati-hati dia menuruni jalan itu. Dia tidak ingin terpeleset lalu jatuh ke sungai. Terlihat tangan kanannya menjinjing baskomkecil tempat dia akan membawa air.
Mata air sungai yang akan diambilnya itu berjarak hanya beberapa meter dari lereng ujung jalan di bawah sungai. Tatkala sudah berada di bawah sungai, dia langsung duduk didepan mata air itu. Dijulurkan dua tangannya ke dalam kolam kecil tempat mata air mengalir. Diangkat dan diminum air yang berada di dua telapak tangannya. Dahaga yang dirasakannya setelah menyantap sepiring nasi telah terlunaskan. Ya, dia lupa bahwa persediaan air minumnya sudah habis. Dia baru menyadarinya seusai makan. Baginya sudah biasa meminum air tanpa dimasak dari mata air itu.
Di langit kabut masih berputar. Di bawah angin menarik-narik ilalang yang tumbuh bersemak mengitari Sungai Kuranji. Dibelakangnya,air sungai mengalir dengan deras. Dia mulai memasukan air ke dalam baskom kecilnya dengan gayung yang selalu disimpannya di dekat mata air.
Seseorang, entah siapa, di atas tebing mendonggakan kepalanya. Ia seorang laki-laki.
“Hoi Mak, cepatlah naik, tidakkah Mak lihat langit berkabut. Nanti air besar datang!,” seru orang di atas tebing.
Dia menengadahkan kepala. Dia melihat siapa yang bersorak. Laki-laki berkepala botak. Berbaju hitam.Dan dia mencibir.
“Hih, sudah lama aku makan nasi garam, kau mengajariku pula, tahulah aku segala makna,” jawabnya pelan. Dia terus saja memasukan air ke dalam baskom. Dia tidak peduli pada laki-laki itu.
Dia kembali menengadahkan kepala, mencoba menemukan laki-laki tadi, tapi dia tidak lagi melihatnya.
***
PERSIS pada lengkingan anjing hitam keempat dia menyelesaikan salat Magrib di atas rumah kayu miliknya. Dia mengucapkan salam. Ketika matanya mengarah ke sebelah kanan, dia melihat, si lelaki berkepala botak yang sore tadi menyoraknya dari atas tebing tidur tengkurap. Dia tidak langsung membuka mukenanya. Dia berdoa sejenak kepada Tuhan.
Nampak si lelaki sangat nyenyak tidurnya. Sesekali mulutnya berdesis. Seperti ular lapar. Dia pun menyelesaikan doanya. Dia kemudian melemparkan sebelah sandal yang mengenai kepala si lelaki. Si lelaki tersentak. Ia mendongak. Siapa yang melempar? Diantara keremangan cahaya ia melihat seorang perempuan berdiri dan menantangnya.
“Kau memang tak punya otak, mungkin memang tak punya benak. Dari tadi kulihat kau tidur saja. Angkatlah kakimu dari rumahku ini! Aku muak! Dasar botak,” bentaknya.
Ia megusap-usap dua matanya sejenak, “Jangan mengusirku Mak, aku menantu Amak.”
“Menantu? Kau tahu, aku merasa kau bukan menantu, tapi hantu. Botak!”