Cerpen

Merindukan Purnama

PADA sore berkabut, dia menuruni Sungai Kuranji dengan terbungkuk

Editor: bakri

“Aku tidak peduli. Kau dari dulu lebih menyukai anjing daripada anakku. Hah, kenapa sedari dulu kau tak kawin saja dengan anjing itu.”

“Mak...”

“Sudah, pergilah, anakku sudah lama tak kembali, sebaiknya kau jangan pulang. Apa pula kata orang. Aku pun takut kau mabuk sehabis minum tuak, lalu aku pula yang akan kau tiduri, aku tak mau hamil bila sudah tua begini, hiiih,” katanya sambil memasuki biliknya.

Si laki-laki menarik sarungnya. Ia mengeleng-gelengkan kepala.

“Dasar perempuan tua, puih, dikiranya aku berhasrat pula menidurinya, hah.”

Lalu bergegas ia meninggalkan rumah itu dengan kesal. Ia merasa kantuknya hilang begitu cepat setelah mendengar kata-kata mertuanya itu. Ia menyusuri pekarangan rumah yang gelap, semak-semak mengitari rumah. Langkah kakinya diarahkannya ke sebelah utara dengan pelan. Meski gelap, ia sudah hapal jalan ke luar dari pekarangan rumah. Di kepalanya kini tertuju pada sebuah tempat. Tempat sebuah lepai terpacak. Tempat segala laki-laki melepaskan penat: bersenang-senang, bermain domino, nonton siaran televisi sambil meneguk sebotol bir, bahkan mabuk.

***

DIBUKANYA pintu bilik itu dengan pelan, dua matanya menatap ke sekeliling balai rumahnya, tempat dimana menantunya tadi tidur tengkurap. Akhirnya dia yakin bahwa laki-laki itu sudah pergi meninggalkan rumahnya. Dia merasa lega. Seorang laki-laki jika berada di rumahnya sungguh tak enak baginya.

Dilepaskannya tatap pada pekat malam. Dia bergumam.

“Purnama, sedari dulu sudah aku katakan, kau termakan kasih muda. Cintamu tak bermata. Hingga kau tak hirau segala pituahku. Lihatlah, benar dugaankukan, jangan pernah menikah dengan laki-laki pecinta anjing. Kau akan terabaikan, tapi kau tak pernah hirau.”

Matanya masih memandang ke luar halaman yang hitam. Malam telah menyungkup pekarangan rumahnya. Tak ada keremangan cahaya. Bulan telah mati di atas langit sana. Bintang-bintang telah raib pula. Langit telah memakai jubah hitamnya yang pekat. Angin lebih leluasa meliuk-liukan dahan-dahan pohon. Tapi dia menemukan wajah Purnama dibalik itu semua. Malam yang pekat dan sunyi, angin yang dingin semakin membuat wajah Purnama seperti nyata di matanya.

Dia ingat, dimalam yang serupa ini, dia dan Purnama pernah berdebat. Berdebat hingga menonjolkan urat-urat lehernya yang sudah tua.

“Bagaimana Amak bisa merestuimu Purnama, kau akan kawin dengan laki-laki yang di mata Amak tidak cocok buat kamu. Bigar, kau akan kawin dengannya? Dia tidak bisa menjamin masa depanmu Pur.”

“Dia memang belum memiliki pekerjaan tetap Mak, tapi dia akan mencari pekerjaan bila telah menikah nanti. Uda Bigar akan giat bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang?”

“Bekerja apa saja? Apakah itu juga termasuk menyabung ayam, bermain judi Pur?”

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved