Cerpen

Merindukan Purnama

PADA sore berkabut, dia menuruni Sungai Kuranji dengan terbungkuk

Editor: bakri

“Amak! Jaga mulut Amak!” Ia mulai berdiri.

“Kenapa!? Kalau tidak aku jaga kenapa!”

Ia merasa sangat tersingung. Baru kali ini ia dicaci.

“Kalau Amak marah padaku biarlah aku pergi.”

“Pergilah! Dan jangan pernah kembali!”.

“Pasti aku kembali Mak, sebab aku menantu Mak.”

“Tidak! Jangan pernah kembali. Botak! Selagi anakku belum kembali kau bukan menantuku.”

“Mak..”

“Kenapa, kau tak suka? Kau memang tak punya benak. Sedikitpun kau tak peduli pada anakku. Dia hilang tak berkabar, apa yang kau lakukan? Ha! Kau hanya bisa bersenang-senang. Kau tak pernah memikirkannya.”

“Bukan begitu Mak, kemana aku harus mencarinya. Negeri itu terlalu jauh. Mana bisa aku kesana,” katanya.

Sekali lagi anjing hitammenyalak. Kini ia menyalak di bawah kandang. Suaranya mengejutkan perempuan tua  itu.

“Anjing tak punya otak,” katanya

Dilemparnya anjing itu dengan sepotong kayu. Bunyi berderak menimpa kandang. Anjing hitam itu melolong menjauh.

“Sudah berulang kali kuusir, tapi kembali datang, bila dapat kupotong kakinya.”

“Dia anjingku Mak.”

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved