Cerpen

Hijrah Ke Kuta Cot, 1898

SAAT Belanda membangun rel kereta api, sesungguhnya sudah amat mendidih hasrat orang-orang Gampong

Editor: bakri

Karya M. Joenoes Joesoef

SAAT Belanda membangun rel kereta api, sesungguhnya sudah amat mendidih hasrat orang-orang Gampong Keude untuk melawan. Tetapi mereka sadar, kini sudah sulit menghadapi Belanda.

“Melawan kaphe bermuka-muka tidak mungkin lagi kita lakukan,” kata Teuku Banta Rayeuk, uleebalang daerah itu. “Cengkeraman kaphe sudah terlalu kuat. Kita memang punya Amin Siblaih, Daud Paneuk, Gade Itam, bahkan Teungku Lambesoi sendiri. Tetapi tetap saja belum cukup menandingi kekuatan musuh. Kalau mau nekat melawan, akan musnahlah kita. Itu yang tidak saya inginkan. Sangat tidak saya inginkan. Kita tidak boleh menjerumuskan diri pada perbuatan yang didasari kenekatan. Itu adalah tindakan yang sudah mendekat-dekat kepada membinasakan diri sendiri. Astaghfirullah! Kiranya Allah tidak akan rida terhadap hal seperti itu.”

“Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan, Ampon?” tanya Amin Siblaih, yang mendapat nama itu karena matanya memang tinggal sebelah. Dalam pertempuran melawan Belanda tiga tahun lalu, pecahan peluru merusak mata kirinya.

“Itulah yang jadi pikiran saya. Satu hal sudah pasti, gampong ini akan segera berubah wajah dengan bertapaknya jalan besi itu di sini. Kalau ada yang sedih, sayalah yang paling sedih. Keude Baroh ini dibangun oleh nenekmoyang saya. Tetapi ulah kaum kaphe itu akan merubah gampong ini. Saya tidak sanggup saksikan perubahan itu, apalagi sampai melibatkan diri. Bayangkan, bagaimana nanti di atas jalan besi itu si kereta api akan melintas, ke arah sana, ke arah sini. Suara mesinnya gemuruh, peluitnya melengking. Bagi saya, suara-suara itu seperti sorakan kemenangan musuh. Pasti saya tak kuat mendengarnya. Maka saya dan keluarga sudah memutuskan akan pergi, tinggalkan Keude Baroh. Sungguh berat rasanya melanjutkan hidup di tempat yang sudah berubah bukan karena kehendak kita sendiri, sudah bukan sepenuhnya milik kita lagi. Maka pergi dari sini adalah jalan terbaik bagi saya dan keluarga.”

Nyak Ubit cepat menukas, “Ampon Banta, jangan mengira cuma droneu saja yang berperasaan begitu. Saya juga. Karena itu, saya juga akan pergi!”

“Perasaan saya juga sama, Ampon,” sambung Daud Paneuk, yang sehari-hari bekerja sebagai pandai besi. Dialah yang menyediakan alat-alat pertanian bagi warga Keude Baroh, disamping juga menempa rencong dan kelewang, untuk dipakai melawan kaphe. “Saya juga pasti akan pergi. Habis perkara!”

“Saya juga akan pergi,” lanjut Amin Siblaih. “Akan sesak betul perasaan kita melihat kereta api itu mondar-mandir untuk kepentingan para kaphe. Rasanya seperti ada orang buang hajat di depan pintu rumah kita, lalu kita yang harus membersihkan!”

Dan susul menyusullah warga Keude Baroh menyatakan niatnya untuk pergi. Akhirnya, tak ada seorang pun yang sudi tetap tinggal di situ. Gampong itu akan menjadi daerah mati.  

Teuku Banta Rayeuk pun termenung panjang. Ketika tadi dia menyatakan niatnya untuk pergi, itu betul-betul merupakan kehendak pribadi belaka. Tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukannya sebagai uleebalang pemegang tampuk kekuasaan di gampong itu. Dia tak bermaksud berikan perintah, petunjuk atau taklimat apa pun. Tetapi, jadi beginilah keadaannya. Semua orang ingin pergi.

“Bagaimana ini, Keucik Amin?” tanya Teuku Banta Rayeuk kepada kepala kampung. “Bagaimana bisa jadi begini? Semua orang mau pergi juga. Saya tidak meminta mereka melakukan ini, bukan?”

“Tentu saja tidak, Ampon,” jawab Keucik Amin sambil tersenyum simpul. “Kalau semua orang juga mau pergi dari sini, itu memang cerminan kehendak mereka. Juga jadi cerminan satupadunya perasaan mereka dengan perasaan droneu sendiri.”

“Subhanallah! Satu gampong akan pergi semua. Susah betul dipercaya! Sungguh, saya kagum kepada kalian semua. Tidak ada samasekali tempat di hati kalian untuk menerima para kaphe itu. Telah kalian tutup rapat-rapat hati kalian. Kalian lebih memilih pergi, ketimbang hidup bersisian dengan mereka. Subhanallah! Bahagia sekali saya. Tetapi masih ada pertanyaan saya. Sudah dapatkah kalian bayangkan, apa yang akan kalian hadapi di hari-hari nanti? Ingatlah, kalian sudah hidup mapan di Keude Baroh ini. Dan itu akan kalian tinggalkan. Kalian akan memulai hidup yang baru samasekali. Harus memulai dari awal lagi. Siapkah kalian?”

“Tentu saja, Ampon. Kami sudah siap untuk hidup bersakit-sakit kembali,” tukas Nyak Ubit, seorang pedagang yang sudah lama hidup makmur.

“Karena, Ampon, hidup dalam kebebasan dan kemerdekaan itu harus berada di atas segala-galanya. Kebebasan dan kemerdekaan harus kita jadikan puncak hidup kita. Tanpa itu, apa pun yang kita miliki, senantiasa akan kehilangan arti,” sambung Amin Siblaih.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved