Opini
Guru dan Etos Kerjanya
BERBEDA dengan 20 tahun lalu, kini guru termasuk satu profesi yang sangat diminati. Tak terkecuali di Aceh
Oleh Sadri Ondang Jaya
BERBEDA dengan 20 tahun lalu, kini guru termasuk satu profesi yang sangat diminati. Tak terkecuali di Aceh. Para lulusan sekolah menengah yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, kini cenderung memilih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dengan asumsi kelak akan menjadi seorang guru. Bahkan, tak sedikit pula ditemukan, alumni perguruan tinggi yang dulu sarjana jurusan non kependidikan, kini beralih ke jurusan pendidikan. Caranya, dengan mengambil Akta IV atau sertifikasi tenaga kependidikan.
Tingginya motivasi menjadi guru, selain tergolong sebagai satu pekerjaan yang sangat mulia, secara sosial pun profesi ini mengandung kebajikan. Di samping itu, profesi berwira-wiri di depan kelas ini, secara finansial menjanjikan masa depan yang cerah. Dengan kata lain, jerih payah yang didapatkan guru telah surplus memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya. Pendeknya, kehidupan guru sekarang terlihat sudah lebih baik dari segi finansial. Meski belum semuanya, namun tingkat kesejahteraan guru sekarang tak lagi seperti dipahami Iwan Fals dalam lirik lagunya ‘Umar Bakri’. Sekarang, hidup guru lebih mentereng.
Kondisi perkembangan guru yang menuju arah positif dan sangat signifikan ini, apabila dicermati, ternyata belum berbanding lurus dengan hasil capaian mutu pendidikan. Malah seperti terlihat pada 2013 lalu, kualitas pendidikan di Aceh, masih berada di bawah rata-rata nasional. Padahal uang yang digelontorkan untuk mendanai sektor pendidikan ini lumayan besar. Artinya, meski jumlah guru semakin banyak, kesejahteraannya semakin meningkat, ternyata keberadaan cikgu ini, belum bisa memenuhi tuntutan dunia pendidikan dan harapan masyarakat, terutama dalam peningkatan kualitas pendidikan.
Fenomena baru
Masih rendahnya kualitas pendidikan di Aceh, satu penyebabnya adalah rendahnya mutu guru. Fakta dan data membuktikan, dari 117.978 orang guru di Aceh, kualitasnya masih berada pada peringkat 28 Nasional (Tempo co. 29/6/2013). Faktor ini terjadi, bukan saja karena rendah aspek kompetensi dasar guru. Seperti, kompetensi pedagogik, kompetensi keperibadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Tetapi juga, etos kerja guru pun, masih sangat rendah. Ditambah lagi, banyak kalangan guru yang keliru dan salah kaprah dalam memahami tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya.
Dari satu survei yang pernah saya lakukan di beberapa sekolah (tahun 2009-2013), tingkat kehadiran guru di sekolah intensitasnya relatif sangat minim. Malah, rendahnya tingkat kehadiran guru ini, telah menjadi fenomena baru di dunia pendidikan. Guru datang ke sekolah, apabila ada jadwal mengajar. Kalau tidak ada, guru tadi hanya berada di rumahnya atau melaksanakan aktivitas lain di luar sekolah. Kalau pun guru terpaksa datang sekolah, ia tidak melaksanakan tugas dan fungsinya sebagainya mestinya.
Padahal, UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menyebutkan bahwa pada guru melekat dua peranan kepegawaian, yaitu sebagai ASN reguler dan ASN fungsional. Sebagai ASN fungsional, guru tidak saja melaksanakan tugas pokoknya sebagai pengajar atau mentransfer ilmu kepada peserta didik. Melainkan ia juga berperan sebagai pembimbing, pengarah, pelatih, pembina, pendidik, dan penilai peserta didik.
Seorang guru harus melakukan penelitian-penelitian demi pengembangan kariernya dan perbaikan di sekolah. Dalam melaksanakan tugas kepegawaiannya ini, guru mendapat gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan kompetensi dari pemerintah: gaji sebagai pegawai biasa dan tunjangan sebagai pegawai fungsional. Karena itu aktivitas dan kehadiran guru di sekolah, dituntut menimal 37,5 jam setiap minggunya. Guru hadir di sekolah tidak hanya ketika ada jadwal mengajar sesuai dengan yang tertera di roster. Tetapi guru, wajib datang ke sekolah setiap hari minimal 6 jam waktu normal (dari pukul 07.30 WIB - 13.30 WIB).
Rendahnya etos kerja di kalangan guru, diperparah lagi dengan penerapan dan penempatan program sertifikasi guru yang salah kaprah dan pradoksal di sekolah. Menurut aturan yang ada, guru yang profesional, diwajibkan mengajar minimal 24 jam tatap muka dalam seminggu. Namun, dalam penerapannya di sekolah --setelah kongkalikong dengan kepala sekolah-- guru profesional tadi, mendapat tugas tambahan. Ada yang menjadi wakil kepala sekolah, wakil bidang kurikulum, wakil bidang kesiswaan, kepala laboratorium, kepala urusan perpustakaan dan lain-lain.
Dengan adanya “jabatan” tambahan itu, kepada sang guru pemegang jabatan, diberikan hak. Yaitu, sama dengan telah mengampuh pelajaran selama 12 jam tatap muka dalam seminggu. Kemudian yang 12 jam lagi, ia harus mengajar secara reguler. Dengan demikian, sang guru bersertifikasi, dianggap telah mengampuh pelajaran sebanyak 24 jam tatap muka dalam seminggu.
Ini sesuai aturan, memang. Namun di sinilah muncul masalah. Guru yang diberi tugas tambahan, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, acap kali, ogah-ogahan. Apalagi kalau situasi sekolah kurang “kondusif”. Ia datang ke sekolah, kalau ada jadwal mengajar saja. Sebanyak 12 jam tatap muka yang hanya dua atau tiga hari saja. Selebihnya, guru itu berada di luar sekolah. Ironis dan tidak adil.
Fakta ini, telah memicu rendahnya produktivitas, kontribusi, dan dedikasi guru lain, sehingga merendahkan etos kerja mereka. “Guru itu, telah mendapat pengurangan jam mengajar dari sekolah, mendapat insentif dari dana BOS, mudah naik pangkat, tidak terhambat tunjangan profesinya. Tetapi, tidak maksimal bekerja dan sering membolos. Kalau begitu saya juga malas datang ke sekolah ah,” celetuk guru-guru lain dengan sinis.
Harus dinamis
Guru sebagai sebuah profesi, pekerjaannya mengandung tugas dan fungsi spesifikasi tertentu, beda dengan profesi lain. Seorang guru, harus terus menerus belajar dan memperbarui ilmunya, menemu-kenali, serta selalu berdialog dan berkomunikasi dengan orang, bahkan dengan alam. Kemudian guru harus menjalankan fungsinya, seperti mengajar, mendidik, membimbing, membina, dan mengevaluasi. Guru harus dinamis, fleksibel, dan adaptif dengan situasi dan kondisi zaman. Ia dituntut menjalankan kompetensi keilmuannya.
Karena itu, guru berada di sekolah, bukanlah seperti pegawai lain berada di kantor. Apalagi seperti kehadiran petugas ronda malam atau satpam yang datang karena ada jadwal jaga. Kalau tidak ada jadwal, dia tidak pernah muncul. Kalau guru sekejap saja tidak hadir di lingkungan sekolah, maka telah merusak elemen lain di sekolah. Akhirnya, sekolah sebagai sebuah sistem proses belajar berjalan tidak normal alias macet.
Jadi, sebagai seorang guru harus memahami dan mau dan mampu mewujudkan etos kerja dalam tugas keguruannya. Seperti yang pernah disinyalir, Jansen Sinamo, dalam Buku 8 Etos Keguruan. Pertama, mengajar itu adalah sebuah rahmat. Karenanya, ia mengajar dengan ikhlas dan penuh rasa syukur. Kedua, keguruan atau mengajar adalah amanah. Guru harus mengajar dengan benar dan penuh tanggung jawab. Ketiga, keguruan adalah panggilan. Guru harus mengajar tuntas dan penuh integritas.