Cerpen
Ketika Kepala Ismail Berdenyut
ISMAIL duduk di atas dipan bambu di teras rumahnya yang menghadap persawahan yang hampir satu tahun hanya
Karya Firdaus Yusuf
ISMAIL duduk di atas dipan bambu di teras rumahnya yang menghadap persawahan yang hampir satu tahun hanya ditumbuhi ilalang dan rumput liar. Dibacanya berkali-kali sepucuk surat yang berisikan larangan melakukan kegiatan apa pun di tanahnya sendiri. Surat itu dihantarkan ke rumah oleh Keuchik Amin dua hari setelah sebuah plang pengumuman berwarna kuning yang bertuliskan: DILARANG MELAKUKAN GALIAN ATAU MENDIRIKAN BANGUNAN DI ATAS TANAH INI. ADA PIPA MINYAK, terpancang di atas kebunnya.
Sore itu, hujan di penghujung bulan Juni mengguyur setiap jengkal tanah, termasuk menghunjam atap rumahnya yang sudah tiris. Ketika hujan kian deras, Ismail melihat seekor burung gereja melompat-lompat kecil pada jerjak jendela kamar. Sekejap kemudian, burung itu terbang dan masuk ke celah-celah sobekan langit-langit rumahnya yang berupa terpal plastik bewarna biru.
Ismail melangkah ke dapur. Lalu diambilnya beberapa wajan plastik di rak piring dan dia letakkan di atas lantai untuk menampung air hujan yang menyusup lewat atap daun rumbia rumahnya yang tiris.
Untuk mengganjal perutnya yang melilit sedari tadi, dia goreng telur dengan minyak goreng sehitam solar, lalu ia melahapnya dengan nasi yang telah ditaburi garam.
Ketika beberapa suap nasi yang ia kunyah melewati kerongkongan, darah yang dipompa jantungnya membuat otaknya berdenyut dan membawa pikirannya pada sebuah peristiwa bertahun-tahun silam.
***
Pagi buta itu seseorang menggedor-gedor pintu rumahnya. “Bang,” istrinya, Rosmiati, mengguncang lengannya. Ismail mengerjap-ngerjapkan mata dan duduk bersandar pada dinding triplek kamarnya sesaat sebelum ia memutuskan untuk menuju ke depan dengan membawa lampu minyak. “Kau tunggu di sini,” kata Ismail pada Rosmiati.
Ketika ia membuka pintu, dia melihat seorang lelaki kurus, dengan tulang pipi yang menonjol dan mata menjorok ke dalam, berdiri di hadapannya. Wajahnya orang itu pucat.Matanya menerawang ke segala arah. “Tolong saya,” kata pria itu. “Izinkan saya sembunyi di sini sebentar.”
Mata Ismail mendelik ke arah pria yang mengenakan kemeja krim garis-garis. Kemeja itu tampak basah. Mungkin dibasuh hujan; atau disebabkan oleh keringat yang mengucur dari kulitnya, pikir Ismail.
Tampak bercak-bercak lumpur pada celana loreng yang ia kenakan sehingga penampilannya saat itu tak ubahnya seorang petani yang baru saja pulang dari sawah. Tapi, ia bukanlah petani, karena yang ia tenteng bukanlah cangkul melainkan AK-47. Laki-laki itu juga bukan warga kampung tempat Ismail dan istrinya menetap.
Karena didorong oleh ketakutan di dalam dirinya, orang itu menerobos masuk tanpa menunggu jawaban Ismail. Kerongkongan Ismail tercekat. Ia tak tahu harus berbuat apa selama beberapa saat. Lalu, setelah menyadari bahwa ia berhadapan dengan sesuatu yang mengancam nyawanya, dengan gesit dia menutup pintu rumah dan menghampiri si lelaki.
“Di sini,” kata Ismail seraya membuka tutup krong pade.
“Apa tidak ada tempat lain?”
Ismail melipat kain sarung dan meraih sebuah kursi di meja makan. “Naiklah.”