Cerpen
Ketika Kepala Ismail Berdenyut
ISMAIL duduk di atas dipan bambu di teras rumahnya yang menghadap persawahan yang hampir satu tahun hanya
“Kami kecolongan, terperangkap di tengah sawah yang telah dikepung sana-sini. Hanya saya yang selamat, Apa,” ujar Husni.Mendengar kalimat itu, Ismail luluh. Begitu juga dengan Rosmiati.
“Kalau kau tak enak badan istirahatlah di sini dulu,” ujar Rosmiati usai menatap lekat-lekat wajah Husni yang pucat. “Kau demam?”
Sesuap demi sesuap nasi dengan lauk ungkot keumamah masuk ke mulut Husni. Dikunyahnya nasi itu dengan gigi-giginya yang kuning. Usai menandaskan sepiring nasi yang awalnya penuh, Rosmiati membawakan segelas teh hangat, yang hanya setengah diseruput Husni.
***
Ismail tidak pergi ke sawah seperti biasanya. Ia keluar menuju ke arah jalan setapak, yang di kiri dan kanannya tampak pepohonan melinjo. Seekor tupai berlari pada dahan-dahan pohon sawo di sebelahnya. Ismail pergi ke kebun yang letaknya tak jauh dari rumah. Di sana dia mencabut bawang merah dan membawanya pulang ke rumah.
Sementara itu, Husni, setelah bersalin pakaian-ia mengenakan kaus dan jins almarhum anak sepasang suami-istri itu-dan tidur di kamar almarhum yang sedikit berdebu. Setelah mencuci bawang merah yang dibawa suaminya, Rosmiati mengiris beberapa bawang merah itu, lalu dia mencampurnya dengan minyak tanah.”Abu, oleskan pada tubuhnya,” kata Rosmiati pada suaminya.
Husni bangun setelah Asar berlalu. Ia terbangun dengan cemas. Dan, dengan tatapan yang sedikit berkunang-kunang, dia memaksa tubuhnya bangkit dari atas kasur kapuk. “Kepada Anda berdua, saya berutang budi. Jika ada umur panjang dan Allah mengabulkan kemerdekaan bagi negeri kita, maka saya akan membalas kebaikan Apa dan Mi Wa,” kata Ismail dengan raut wajah sendu, di muka pintu saat berpamitan pada Ismail dan Rosmiati.Dia menenteng plastik kresek yang berisikan dua liter beras yang diberikan Ismail.
***
Bertahun-tahun kemudian, usai tsunami menyapu seluruh daerah pesisir, bendera-bendera merah berkibar di sudut-sudut kedai di kampungnya. Sudah empat belas bulan Rosmiati menghembuskan napas terakhirnya. Ismail ingat, pagi itu tak seperti biasanya, Rosmiati tak membangunkan dia untuk salat subuh hingga akhirnya dia menyadari istrinya telah terlelap untuk selama-lamanya.
Suatu sore, usai Ismail membeli telur bebek asin di kedai, ia melihat kerumunan orang di lapangan di dekat pos jaga. Padat. Semua yang ada di sana berwarna serba merah. Sebuah panggung yang ditopang drum-drum minyak tanah, yang di atasnya dijajarkan sejumlah papan sebagai lantai, didirikan di tengah-tengah lapangan. Dan di bawah tenda, di belakang mimbar di atas panggung itu, berdiri dua orang pria yang dikawal oleh sejumlah pria berbaret merah dan mengenakan kacamata hitam.
Mata Ismail tertuju pada seseorang yang sedang berceramah di atas mimbar itu. Meskipun saat itu pria itu tampak berisi, dengan misai tebal, kemeja merah, kopiah beludru hitam, dan mengenakan celana bahan serta sepatu kulit yang mentereng, tapi Ismail masih mengenalinya dari suaranya. Ditambah dengan spanduk-spanduk yang memampang nama serta foto sang pria. Pria itu adalah Husni, yang saat itu tengah berkampanye. Husni saat itu mencalonkan diri sebagai bupati.
***
SEPERTI mengangkat lembu yang jatuh ke dalam sumur. Ketika sudah diselamatkan, malah kita yang diseruduk, batin Ismail. Matanya berkali-kali menatap nama yang menandatangani surat yang tengah dipegangnya.
Bukan. Bukan ia tak mendapat ganti rugi atas tanahnya itu. Tapi, sepetak sawahnya yang tak dialiri air, tak bisa diandalkan Ismail, sehingga selama ini ia hanya bisa bergantung pada kebunnya yang letaknya bersebelahan dengan anak sungai. Hujan turun tak menentu. Musim hujan dan musim kemarau tak bisa lagi diterka. Air sumur di rumah Ismail yang tak pernah kering sebelumnya meskipun musim kemarau yang panjang sekalipun, menjadi keruh dan jumlah airnya hanya dua jengkal dari tanah karena kebun-kebun sawit semakin hari semakin luas.
Urat-urat yang berdenyut-denyut dan terpacak pada kedua sisi kepalanya itu seperti ban dalam sepeda yang terbelah enam, yang ketika mereka semakin kencang ditarik oleh ingatan Ismail, semakin mereka terasa berat, lalu mental seperti semula. Di tengah kegamangannya itu, Ismail membayangkan: Betapa pedihnya nasib orang-orang yang perutnya kosong saat datangnya hari kiamat nanti.
* Firdaus Yusuf, bercita-cita menjadi seorang jurnalis investigasi.