Cerpen
Ketika Kepala Ismail Berdenyut
ISMAIL duduk di atas dipan bambu di teras rumahnya yang menghadap persawahan yang hampir satu tahun hanya
Mendengar suara gaduh di dapur, Rosmiati keluar dengan mengenakan daster biru motif bunga-bunga. Selendang cokelat menutupi kepalanya yang seperempat bagiannya sudah beruban. Ketika langkahnya sampai di samping suaminya, sebagian tubuh pria yang menenteng AK-47 itu telah melewati sebuah lubang seukuran tubuh orang dewasa. Yang terlihat sekilas oleh Rosmiati di tengah-tengah ruangan yang hanya disinari oleh lampu minyak itu adalah tapak sepatu sports yang dipakai pria tersebut.
Rosmiati bertanya pada suaminya, siapa pria yang masuk ke dalam krong pade itu.
“Seorang pejuang yang dikejar pai,” jawab Ismail. Sejurus kemudian, Ismail menutup kembali perekat krong pade. “Bisa dibakar rumah kita, Abu,” ujar Rosmiati, dengan napas tertahan. Wajah Rosmiati jelas menunjukkan keengganan menerima tamu yang tak dikenal tersebut. Dia menepuk-nepuk pahanya, “Abu pun…”
“Sudahlah,” sela Ismail dengan suara datar. “Kau pikir aku punya pilihan?”
Dengan wajah menunduk, Rosmiati bergeming. Di dalam krong pade yang gelap dan sesak, Husni-si tamu itu-menghirup udara yang sepenuhnya telah berbaur dengan debu-debu kulit padi. Tubuhnya gatal-gatal. Didengarnya suara-suara tikus di atas tingkap di dekat goni-goni beras.
Saat muazin mengumandangkan azan subuh di meunasah, bunyi sepatu lars terdengar bersama caci maki. Untunglah, subuh itu, tak ada lagi orang yang menggedor pintu rumah sepasang suami istri itu.
***
Ketika gelap telah ditelan matahari, Ismail mengetuk dinding krong pade. Tak ada tanggapan, kecuali suara dengkuran. Husni membuka pengait tempat itu. Dilihatnya Husni terkapar di atas timbunan padi seperti lembu yang mampus diseruduk labi-labi di jalan raya. “Bangun,” ucapnya. Namun, tak ada tanggapan.
Sempat terpikir oleh Ismail untuk meninggikan suaranya, tapi karena cahaya yang masuk lewat pintu samping krong pade mengarah pada wajah Husni, maka ia pun bangun dengan sendirinya.
“Ada makanan, Apa? Saya lapar,” ucapnya pada Ismail.
Dalam hati, Ismail mengutuk tamu tak tahu diuntung tersebut. Cepatlah kau pergi, gumamnya dalam hati. Tapi, dia justru mengangguk. “Kalau kau mau cuci muka,” kata Ismail menunjuk ke pintu. “Itu sumur.”
Tak lama terdengar bunyi timba di dalam sumur. Sumur itu beratapkan awan dan dinding-dindingnya terbuat dari pelepah rumbia. “Apa, kalian hidup berdua saja?” tanya Husni.
Belum ada hidangan apa pun di bawah todung saji rotan di hadapan mereka. Keumamah sisa kemarin sedang dipanaskan oleh Rosmiati. Kepulan asap menyeruak dari belanga di atas tungku. Rosmiati mengiris ikan tongkol kering itu tak lebih kecil dari jari manisnya. Dia membumbuinya dengan garam, jeruk nipis, asam sunti, cabai rawit, serta kunyit. Bau ungkot keumamah tampak menyiksa Husni.
Rosmiati tak mengubris sedikit pun sang tamu yang tak dikehendaki itu. Dengan wajah masam, dia terus menyibukkan dirinya di dapur. “Anakku satu-satunya meninggal ditembak tentara saat mendengar ceramah maulid di lapangan dekat pos jaga, pada 26 Bakda Molod,” kata Ismail, memecah kebekuan. “Mungkin jika dia masih hidup, umurnya sekarang, 24 tahun,” ujar Ismail lagi.
“Umur saya 33 tahun,” kata Husni. Kemudian hening sekejap,yang terdengar hanyalah bunyi gemertak kayu terbakar di bawah tungku. Sembari menunggu makanan yang disiapkan Rosmiati, Husni bercerita tentang pelariannya tadi malam, yang pada akhirnya membawanya ke rumah Ismail. Kata dia, delapan rekannya, termasuk komandannya, tewas dalam kontak senjata dengan tentara.