Cerpen
Jamaluth
MALAM itu, delapan tahun silam, kita pulang dari balai mengaji dengan ketakutan dan buru-buru. Kau mendekap
Karya Nazar Shah Alam
MALAM itu, delapan tahun silam, kita pulang dari balai mengaji dengan ketakutan dan buru-buru. Kau mendekap rapat tas plastik yang di dalamnya berisi kitab-kitab. Memang semestinya kitab harus selalu dibawa dengan cara didekap rapat ke dada, kata Teungku, sebagai upaya menghargai ilmu.
Hanya kita berdua yang pulang ke arah selatan kampung. Menyusuri pinggir kuala yang pekat serta kebun kelapa yang agak jauh dari pinggir pantai. Teman-teman yang lain ke timur. Aku memegang suluh daun kelapa dengan tangan kiri sebab harus menjinjing tas plastik berisi kitabku dengan tangan kanan.
“Bang, kitab harus didekap di dada,” ujarmu pelan barangkali untuk membunuh ketakutan.
“Kau belum tidur, kan? Tangan kiriku sedang memegang suluh. Susah jalanku kalau harus mendekap kitab,” kilahku.
“Kalau dijinjing begitu, ilmunya akan tumpah. Tidak melekat pada kita!”
“Sekali lagi kau ceramahi aku, kucolok suluh ini ke mulutmu!” bentakku dengan tatapan bengis.
Aku selalu sadar ketika kau merapatkan diri padaku saat melintasi kebun kelapa. Suara ombak yang pelan itu-kelak kau katakan padaku-menyerupai tangisan kehilangan seorang perempuan tua di pasungan. Kau akan menjadi sangat ketakutanapabila hantaman kuat gelombang sambung menyambung menyeruak bisu kampung. Katamu, begitulah suara laut yang menghempas badan ayahmu, yang menenggelamkan ibumu. Tapi aku yakin, ketakutanmu itu tidak ada sangkut pautnya dengan murka laut silam. Kau pasti sudah mendengar kisah laut kampung ini.
Di pinggir pantai itu, konon pernah dibenamkan tubuh-tubuh orang jahat. Dulu kami percaya begitu saja tanpa bertanya siapa orang jahat yang dimaksudkan si tukang cerita. Tapi sekarang aku mulai mencari tahu, sesedikit dari orang-orang tua yang pernah mengabarkan ihwal pembenaman tubuh dalam pasir pantai yang teduh.
“Pada saat itu, kita tidak tahu siapa yang baik dan siapa yang jahat!” begitu kata Teungku Muslimin ketika kutanya. “Perang adalah masa orang-orang dengan bebas saling menyalahkan. Siapa yang tersisa, pada saat itu dialah yang benar.”
Teman-teman kita di balai percaya dan celakanya menceritakannya padamu bahwa hantu orang jahat itu sering bergentayangan di kebun kelapa yang mau tak mau harus kita lintasi setiap pergi dan pulang mengaji. Sejak itu kamu semakin terlihat kecut. Memang kadang-kadang aku percaya bisa jadi kamu takut pada laut. Sebab beberapa kali kulihat jika tiba masa pasang, kau segera berlari mencari Ibu, bersembunyi di belakangnya. Tapi ketika melintasi kebun kelapa ini malam hari, aku yakin kau lebih takut pada hantu orang jahat daripada amuk ombak.
Hujan masih turun, meskipun hanya sisa-sisa tempias. Sungguh, dalam keadaan seperti ini aku juga ketakutan. Tapi di hadapan seorang anak lemah sepertimu, aku harus menunjukkan keberanian. Kakimu pengkor akibat polio yang menyebabkan kau sulit berjalan. Dan itu membuat aku harus menunggu langkahmu yang payah.
Setelah ibu dan bapakmu dibawa laut, ibuku menjemputmu. Aku kesulitan membaca takdir kau, Jamaluth. Ibu-bapakmu yang tidak cacat berhasil dibekuk gelombang, kau yang berjalan saja sempoyongan kenapa diselamatkan? Aneh sekali takdirmu. Kutaksir laut tidak suka padamu sebab kamu juga benci padanya sehingga pernah bersumpah tidak akan mandi lagi di sana.
Aku tidak pernah penuh bisa menerima kehadiranmu di sini. Ketika kau dijemput, mobil yang ditumpangi ibu dan ayahku mengalami kecelakaan. Ayahku meninggal. Itu kenangan terburuk yang memuakkan. Selain itu aku juga cemburu pada perlakuan ibu yang terlalu melindungimu. Kau tidak berguna sedikit pun untuk pekerjaan orang miskin. Tidak bisa kau pindahkan karung kopra yang hanya berisi seperempat. Kalau sudah jatah angkat yang berat-berat, ibu selalu menyuruhku.
Bagiku kau anak malang yang tidak pernah bisa diandalkan. Contohnya suatu waktu, di hadapanmu aku dihajar sampai babak belur oleh kelompok bandit kelas dua karena ketahuan membuang kertas jawaban tugas PPKn salah satu anggota mereka. Kau hanya menangis, meraung-raung seperti anak kecil kehilangan mainan. Aku tidak butuh tangisanmu. Saat itu aku butuh tenagamu.