Cerpen
Jamaluth
MALAM itu, delapan tahun silam, kita pulang dari balai mengaji dengan ketakutan dan buru-buru. Kau mendekap
“Abang bisa berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini? Janji?” suaranya seperti berharap. Aku menyanggupinya. Ada-ada saja. Siapa lagi yang telah menceritakan perihal berkelana padanya?
Aku sudah membeli kedua hadiah. Entahlah, sepanjang perjalanan pulang berulang kali aku teringat Jamaluth. Dia pasti akan meloncat-loncat kegirangan ketika kuberikan sepatu persis seperti yang ia mau. Sungguh lucu melihat seorang yang cacat kakinya, yang berdiri pun susah, malah bergoyang-goyang di hadapanmu.
Kubayangkan nanti ketika ia menuju sekolah, Jamaluth akan memamerkan sepatu baru yang kubeli pada teman-temannya. Dengan angkuh dia berujar pada temannya, “Ini hadiah dari bang Akbar. Hadiah rangking dua orang kota!”
Atau barangkali dia sudah punya pacar? Tidak tertutup kemungkinan. Jamaluth hanya cacat kaki, tidak kepala, tidak cacat juga lisannya. Dia sangat pandai berbicara, meskipun sikap pengecutnya kadang sangat kentara. Mungkin saja ada seorang perempuan yang jatuh cinta padanya. Perempuan itu pasti teman belajarnya.
Ibu berkali-kali menelponku malam itu. Tidak, aku tidak akan mengangkat telpon ibu. Lagi pula aku tahu ponsel ibu punya kode pengaman yang tentu saja hanya ibu yang bisa membuka kodenya. Jadi jika panggilan masuk dari ibu, pasti ibulah yang menelpon dan itu artinya ibu baik-baik saja. Jamaluth? Kalau ada apa-apa dengan Jamaluth, pasti ibu akan mengirim pesan.
Aku bangun telat pagi itu. Di luar asrama sebuah mobil sudah siap melaju. Tanpa mandi segera kuhamburkan diri ke sana dan memilih bangku paling belakang bersama Sultan. Di jalan aku tertidur lagi. Baru jaga setelah Sultan menggoyang-goyangkan tubuhku.
“Sudah boleh turun. Kamu sudah sampai,” ucap Sultan santai. Aku segera berbenah dan turun.
Di hadapan rumahku orang-orang berkumpul. Sangat ramai. Ibu terlihat duduk di bangku panjang di hadapan kedai sayur kami dengan wajah masai. Tidak ada bendera kuning. Tapi wajah-wajah lelah orang yang berdiri di sana cukup membuatku tak tenang.
“Ada apa, Bu?” tanyaku sembari menyalami perempuan yang tampak kelelahan itu.
“Jamaluth hilang!” ucapnya bergetar.
“Bagaimana mungkin orang besar hilang begitu saja?” aku penasaran. Ibu hanya mengangkat bahunya.
Beberapa lelaki tua berbadan gempal terlihat kuyup. Mereka baru saja mencari Jamaluth di sungai dan di laut. Tidak ada jejak, kata mereka. Untuk menghibur ibu orang-orang itu menunjukkan upaya pencariannya. Berhari-hari kemudian ada yang mengabarkan seperti melihat Jamaluth di pinggir laut di kampung ujung bagian selatan. Kami mencarinya ke sana. Kabar itu dusta. Lalu kabar-kabar lain menguap sesuka hati. Ada yang mengatakan si kaki pengkor dimakam laut, menjadi hantu kebun kelapa, bunuh diri di kuala, menjadi gembel di kota, sudah berkeluarga. Tidak ada satu pun yang bisa dipercaya.
Sepatu kets pesanan Jamaluth aku sembunyikan dari pandangan ibu. Seperti itulah kusimpan rahasia tentang misteri Jamaluth.
Alue Naga, 2014
* Nazar Shah Alam, pegiat Komunitas Jeuneurob. Lahir di Kuta Bakdrien, 5 September 1989.
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |