Cerpen

Jamaluth

MALAM itu, delapan tahun silam, kita pulang dari balai mengaji dengan ketakutan dan buru-buru. Kau mendekap

Editor: bakri

Kau selalu datang ke surau beberapa saat sebelum azan Magrib disuruh kumandangkan oleh Teungku Afan, khatib mesjid kampung ini. Hal itu membuat aku terus menerus direpeti ibu. Dia membandingkanku denganmu. Menurut ibu, suaramu yang bagus dan ketekunananmu di surau sangat membanggakannya. Nampaknya Ibu mulai lupa melihat kebanggaan yang kuberikan selama ini. Misalnya setiap pembagian rapor, aku kerap membuat ia berdiri bangga di hadapan orang tua murid lainnya di sekolah. Ya, aku tidak patuh di pesantren, tapi bukankah semua anak punya kelebihan yang berbeda?

Langkahmu selalu seolah terburu-buru untuk mengejar waktu azan. Tergesa-gesa berwudhuk-awalnya tidak, sebab kau percaya pada pendapatku bahwa azan hanyalah untuk sebuah panggilan peringatan yang kalau pun tergolong ke dalam ibadah ia setara dengan bersedekah dan mengajak kepada kebaikan. Tapi setelah Teungku Afan marah besar padamu-saat itu aku sangat bahagia dan berharap kau ditampar-kau mulai berwudhuk sebelum azan.

Teungku Afan, kau tahu, aku menyimpan kekesalanterhadapnya sehingga pernah ingin kurusak sepeda ontel yang digunakannya untuk menjual ikan. Kalau saja bukan karena ia abang sepupu almarhum ayahku, sudah kubalas perlakuannya sore itu. Dia datang ke rumah kita dengan mata menyala lalu memaki ibu perkara traktor yang urung masuk ke sawahnya karena lebih dulu dicegat ibu hari itu. Ibu diam.Aku diam. Kami memang tidak punya keberanian menantang Teungku Afan. Lagi pula seorang lelaki pemarah seperti dia mana bisa disanggah. Tapi kau, Jamaluth, dengan jalan yang tersuruk-suruk malah mendekat dan menatapnya dengan keberanian tak terduga.

“Hanya karena sehari telat dibajak sawah, Yahwa Afan datang kemari untuk merusak hubungan keluarga? Yahwa seorang teungku, tidak baik marah-marah begitu,” ucapmu pelan tapi cukup mengangkat keberanianku.

Teungku Afan seperti diludah mukanya. Ia pergi setelah mendorongmu hingga jatuh. Di sanalah, Jamaluth, pertama sekali mata kita bertemu.

***

Besok aku akan pulang. Di sini aku mendapatkan rangking dua sekelas sekaligus peringkat empat di sekolah. Sejak lulus SMP dengan nilai baik, aku mendapat undangan ke sekolah unggul di ibukota. Jamaluth mestinya juga punya kesempatan. Tapi dia urung mengambil undangan tersebut.

Uang hasil juara kelas di sini memang lumayan. Di sekolah kampung, kata Jamaluth, menjadi juara umum di sekolah hanya dikasih lima buku tulis dan dua batang pulpen. Tidak ada piagam, piala, apalagi uang. Aku sudah berencana membelikan ibu jilbab kurung agar bisa dipakai sehari-hari ketika menjual sayur. Dan akan membeli sepatu untuk Jamaluth. Dia selalu ingin pakai sepatu meskipun kakinya cacat begitu.

“Sepatu kets nomor 34, bang Akbar. Kalau bisa warna biru, atau paling tidak bergaris-garis biru,” pinta Jamaluth ketika ia menelponku seminggu lalu.

“Doakan agar aku dapat peringkat kelas. Biasanya doa orang cacat cepat diterima Tuhan,” guyonku. Jamaluth tertawa. Kami memang sering bercanda begitu dan dia tidak pernah tersinggung jika pun aku menghina keadaannya.

“Doa untuk pencuri uang ibu susah dikabulkan, bang,” balasnya. Aku tertawa besar lalu pura-pura mengancam dia.”Kubeli alat menyelam saja untukmu, Jamaluth? Biar nanti kamu bisa melihat isi laut!”

“Boleh juga. Aku sudah bisa berenang. Besok rencana aku akan melaut,” ucapnya yakin.

“Melaut? Dengan siapa? Siapa yang akan membawamu?” aku heran.

“Aku akan menyusup ke kapal orang. Jika sudah sampai di pulau lain, aku akan turun. Lalu berkelana sampai ke Mekkah!”

“Jangan terlalu banyak membaca dongeng, Jamaluth. Pikiranmu mulai kacau,” candaku.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved