Citizen Reporter

Azan Tiga Kali di Maroko

JUMAT tiga pekan lalu saya melaksanakan shalat Jumat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Rabat

Editor: bakri

OLEH MOCH ALI, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, melaporkan dari Maroko

JUMAT tiga pekan lalu saya melaksanakan shalat Jumat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Rabat, Maroko. Suasananya Indonesia banget. Tapi pada Jumat ketiga saya berada di Maroko, saya saksikan sesuatu yang berbeda. Benar-benar pengalaman religius yang tak mungkin terlupakan. Tepat pukul 13.00 waktu Maroko, saya ke luar dari Wisma KBRI, menyusuri jalan menuju masjid terdekat dari Kedutaan RI di Maroko.

Tepat pukul 13.15, saya memasuki masjid. Semua jamaah tampak sedang membaca Alquran bersama-sama. Tua muda mendaras ayat-ayat Quran dengan nada berirama laksana grup paduan suara yang menyenandungkan nyanyian khas Arab yang mendayu.

Ada hal yang menarik dari tradisi membaca Quran secara bersama-sama ini. Menurut jamaah yang saya ajak berbincang pascajumatan, tradisi khas muslim Maroko yang mendaras Quran ini tentu saja berdimensi spiritual dan sosial. Inilah pola pembelajaran Quran yang telah diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Setelah mengajar di Kampus Faculte des Lettreset des Sciences Humanines, Universite Mohammad V, Kota Rabat, saya pun bergegas menuju masjid dekat kampus untuk shalat Jumat. Uniknya, saya juga menemukan tradisi pembacaan Quran yang senada. Ternyata tradisi membaca Quran laksana grup paduan suara ini telah berlangsung lama, sejak Dinasti Qurawiyyin.

Sesuai tradisi setempat, pembacaan Quran bersama-sama ini dilakukan setelah shalat Magrib dengan membaca ½ juz sambil menunggu pelaksanaan shalat Isya. Begitu pula setelah shalat Subuh, Quran juga dibaca ½ juz, begitu juga sebelum pelaksanaan shalat Jumat. Jadi, bisa dipastikan dalam sehari mereka sudah pasti membaca 1 juz Alquran dan dalam sebulan atau genap 30 hari, jamaah sudah khatam Quran. Jadi, jangan heran bila jamaah yang membaca Quran seperti grup paduan suara itu rata-rata membaca tanpa memegang Quran karena mereka terkondisikan bisa menghafal Quran. Inilah tradisi kuno di Maroko yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain dan tradisi ini masih terus dihidupkan hingga sekarang.

Dunia Islam memang mengakui fakta bahwa para penghafal Quran kebanyakan berasal dari Maroko, negeri Afrika paling barat (maghrib). Sebaliknya, para qari yang bersuara merdu kebanyakan berasal dari Mesir, negeri Afrika paling timur (masyriq).

Bila di Mesir para muazin mengumandangkan azan dengan suara yang mendayu dan indah, tetapi sebaliknya para muazin di Maroko mengumandangkan azan dengan suara tanpa nada, suaranya datar-datar saja, tanpa irama.

Tradisi pembelajaran Quran di Mesir dan Maroko memang tidak sama, tetapi tidak saling menafikan, tergantung pada orientasi pembelajarannya. Barangkali, tradisi pembelajaran tahfiz Quran ini bisa dicontoh umat muslim di Indonesia sebagai pola pembelajaran alternatif bagi para penghafal Quran agar generasi-generasi tunas muda Indonesia dapat terkondisikan menghafal Quran seperti orang Maroko.

Tatkala tiba waktu shalat Jumat, tepatnya pukul 13.30 waktu Maroko (Indonesia 19.30 WIB), sang khatib naik mimbar, azan pertama pun dikumandangkan dan langsung dilanjutkan azan kedua. Saya terkejut dan bergumam dalam hati, “Lo kok nggak ada kesempatan shalat sunat sebelum azan yang kedua?”

Lebih terkejut lagi, setelah azan kedua, sang muazin langsung mengumandangkan azan yang ketiga, dan sang khatib langsung bangkit berdiri untuk menyampaikan khutbahnya dalam bahasa Arab. Jamaah pun terpana dengan khutbahnya.

Azan ketiga, mungkin tak biasa kita saksikan di Indonesia, bahkan bagi masyarakat muslim Asia Tenggara sekalipun. Tapi untuk menenangkan hati yang lagi gundah dan terheran-heran, saya langsung menyimpulkan saja bahwa apa yang terjadi itu barangkali merupakan ciri khas dari tradisi mazhab Maliki di Maroko. Mazhab Maliki memang merupakan mazhab resmi Kerajaan Maroko dan di bangsal istana, bahkan pimpinan dari Tariqah Tijaniyyah ditahbiskan oleh Raja Muhammad IX sebagai penasihat agama Kerajaan Maroko.

Setelah sang khatib menyampaikan khutbahnya, shalat Jumat pun dilaksanakan. Setelah salam, maka sang imam memimpin zikir bersama dan disudahi dengan membaca selawat Ibrahimiyyah. Setelah itu mereka semua bersalam-salaman dan langsung bubar tanpa ada shalat sunat ba’da shalat Jumat. Saya pun kembali terkaget-kaget, karena semua pintu langsung ditutup dari semua arah. Jadi, otomatis semua jamaah terburu-buru ke luar dari masjid. Di Maroko, semua masjid hanya dibuka saat pelaksanaan shalat wajib dan shalat Jumat, dan segera ditutup setelah shalat dilaksanakan berjamaah.

Jadi, tidak salah bila ada orang-orang Maroko yang shalat di jalanan sambil menggelar sajadah atau koran di jalanan umum karena memang tak ada satu pun masjid yang dibuka karena sudah ditutup setelah pelaksaaan shalat wajib. Itulah, antara lain, wajah religius Maroko.
[email penulis: menahem_ali@yahoo.com]

* Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke redaksi@serambinews.com

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved