Opini
Rosnida dan Hegemoni Pluralisme
KINI ramai diperbincangkan polemik tentang Rosnida Sari, seorang dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry
Oleh Nauval Pally Taran
KINI ramai diperbincangkan polemik tentang Rosnida Sari, seorang dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry yang membawa sejumlah mahasiswanya ke gereja untuk belajar gender dari seorang pendeta. Hal ini memunculkan ragam reaksi, termasuk yang paling keras adalah adalah vonis kafir terhadap Rosnida.
Dalam Islam vonis kafir adalah hal yang mengandung konsekuensi cukup berat, sehingga tidak sepatutnya kita bermudah-mudahan dalam mengafirkan seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan.” (HR. Bukhari).
Kiranya atas peristiwa Rosnida ini kita sebagai muslim tidak membangun reaksi di atas sikap emosional, perlu ketenangan jiwa dan kesejukan pikiran untuk mendudukkan persoalan ini secara ilmiah berdasarkan Alquran dan Hadis sebagai dua sumber kebenaran utama dalam Islam. Di sisi lain kita juga tidak boleh lugu tentang adanya muatan pertarungan nilai di dalamnya. Sejauh ini muncul tanggapan dari berbagai kalangan di berbagai media yang tentunya tidak bebas nilai.
Satu tanggapan yang terasa menyejukkan dan terkesan cukup moderat muncul dari Fajran Zain (FZ), mahasiswa yang sedang menempuh studi S3 di Australian National University, Canberra, Australia. Dalam tulisan FZ yang dimuat dalam rubrik Serambi Mihrab (Serambi, 9/1/2015) dengan judul “Hikmah Rosnida”, banyak hal sebenarnya yang ingin penulis tanggapi, namun di sini penulis ingin menanggapi satu sisi saja, yakni ketidakbijaksanaan FZ dalam mendudukkan persoalan.
Menganggap kesilapan
Di dalam tulisannya memang tampak ada semangat dari FZ untuk menjadikan Alquran dan Hadis sebagai hakim, namun di satu sisi FZ menggunakan dasar dari Alquran dan Hadis untuk mengingkari segala reaksi yang muncul terhadap Rosnida. Ia tidak berusaha mendudukkannya berdasarkan Alquran dan Hadits pula. FZ malah menganggap perbuatan Rosnida sebagai sebuah kesilapan dengan pertimbangan: Pertama, karena membawa mahasiswa ke gereja tanpa prosedur izin lembaga tempat ia mengajar, dan; Kedua, karena berperilaku tidak selaras dengan cara orang-orang Islam Aceh berperilaku secara tipikal.
Artinya, pembentukan asumsi yang dimunculkan oleh FZ bahwa kesalahan Rosnida karena persoalan prosedur birokrasi dan menyelisihi kebiasaan umum umat Islam di Aceh, bukan karena ada prinsip keislaman universal berdasarkan Alquran dan Hadis yang dilanggar. Padahal Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali-Imran: 118). Lihat juga firman Allah (QS. Ali-Imran: 119-120, Al-Mujadilah: 22, Al-Mumtahanah: 4).
Apa yang dilakukan oleh Rosnida telah menyelisihi prinsip penting sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat di atas, yakni prinsip al-wala’ wal bara’ (cinta dan setia kepada orang-orang yang beriman serta benci dan berlepas diri dari orang-orang kafir). Jelas ada logika yang berbeda antara toleransi dan wala’ (loyalitas), kita tidak pernah menghalangi umat Kristiani untuk menjalankan ibadahnya sejauh sesuai dengan aturan hukum, ini contoh toleransi. Adapun mengharuskan diri untuk mengangkat mereka sebagai orang kepercayaan dalam mengajarkan suatu pemikiran, ini namanya sikap berloyalitas (al-wala’) yang ini dilarang oleh Alquran.
Dalam sebuah riwayat, Jabir bin Abdillah menuturkan bahwa Umar bin Khattab datang kepada Nabi dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab. Nabi saw pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khathab? Demi zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.” (HR. Imam Ahmad dan Ad-Darimi, dihasankan oleh Al-Albani).
Tidak tepat
Jadi tentu tidak tepat bila membangun opini seakan-akan Rosnida hanya tersilap dengan melanggar prosedur birokrasi dan menyelisihi kebiasaan, sedangkan ia telah menyelisihi hadis dan Alquran. Adalah musibah bila FZ tidak paham pesan hadis dan ayat Alquran di atas, namun bila FZ paham tetapi menyembunyikan atau mengingkarinya, tentu lebih musibah lagi.
Ada hal besar yang patut disadari dari apa yang dilakukan Rosnida yang disusul dengan aksi pembelaan oleh beberapa pihak yang kemudian mengait-ngaitkannya dengan semangat toleransi beragama. Dalam kacamata pertarungan hegemoni nilai yang sedang terjadi di ruang publik, penulis menilai bahwa kasus Rosnida Sari menjadi stimulan untuk membesarkan isu pluralisme beragama di Aceh dengan dalih toleransi umat beragama. Rosnida, FZ, dan yang semisal dengan mereka sadar atau tidak, sengaja atau tidak sengaja, telah membentuk opini seakan ada masalah yang begitu besar dengan toleransi umat beragama yang ada di Aceh.
Penting disadari bahwa dalam semangat zaman posmodernisme ada gerak hegemoni pluralisme pemikiran yang kian mendapat dukungan dari berbagai elemen, dua elemen vital yang cukup terlibat adalah aktivis LSM dan kaum pengajar yang punya prestise sosial sebagai lulusan Barat. “Mempelajari Islam dari luar dengan perspektif barat adalah sebuah progresivitas pemikiran yang patut didukung dengan alasan objektifitas.” Ini satu asumsi rancu yang cukup berhasil dibentuk oleh hegemoni pluralisme. Mereka lupa bahwa Islam bukan agama historis, bukan agama ideologis, tetapi agama wahyu satu-satunya yang senantiasa terjaga kemurniannya.
Kaitannya dengan hal di atas, Universitas Islam sebagai institusi pendidikan Islam sudah harusnya menerapkan secara kaffah metodologi pendidikan Islam, yakni berdasarkan tashfiyah (purifikasi ajaran), tarbiyah (pengajaran/pendidikan Islam), dan tazkiyah (penyucian jiwa). Ini penting untuk melawan upaya hegemoni pluralisme dan berbagai “isme” lainnya yang ingin meredusir esensi Islam ke alam ideologis.
Islam bagi Universitas Islam harusnya adalah esensi yang membentuk eksistensi, maka aneh bila eksistensi Universitas Islam justru mengaburkan esensi Islam itu sendiri. Universitas Islam juga harus berbenah untuk lebih ikhlas lillahita‘ala agar melahirkan lulusan yang mukhlisiina lahuddin. bukan lulusan yang belajar Islam hanya sebagai sarana untuk meraih prestise cendikiawan umat atau sekedar jembatan ke arah lapangan kerja. Universitas Islam dan umat Islam harus kembali hidup dengan Islam dan untuk Islam. Semoga!
* Nauval Pally Taran, Pengurus Harian Ma‘had As-Sunnah Lampeneurut dan Advisory Council of Aceh-Malaysia Youth Leader Forum (AMYLF). Email: nauvalpally@yahoo.co.id
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |