Salam
Miskin Tapi Royal
Harian ini kemarin memuat liputan eksklusif tentang banyaknya proyek atau bangunan-bangunan mewah
Harian ini kemarin memuat liputan eksklusif tentang banyaknya proyek atau bangunan-bangunan mewah yang telantar alias tidak berfungsi meski telah menghabiskan uang triliunan rupiah. Barang-barang mewah itu tersebar di seantero Aceh. Ada yang di tengah kota, di seberang sungai, di pedalaman, bahkan di tengah hutan.
Tentu ini menjadi kenyataan yang sangat memprihatinkan saat eksekutif dan legislatif berebut-rebut mengajukan proyek dengan alasan permintaan masyarakat. Yang menjadi pertanyaan kita, bangunan-bangunan mewah yang mubazir itu pada awalnya permintaan siapa? Juragan tanahkah atau broker proyek?
Ya, euforia pembangunan tanpa kajian matang itu muncul sejak tahun 1999 saat penerimaan daerah yang dikelola pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh meningkat tajam dari dana alokasi khusus. Jika plafon APBA tahun 2010 sebesar Rp 7,64 triliun, kini di tahun 2015 meningkat drastis hingga Rp 12,7 triliun.
Kasihan memang, selain sebagian duit itu lari ke proyek-proyek sebagiannya mubazir, uang itu juga tidak mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Lihat saja, angka kemiskinan rata-rata di Aceh masih di atas angka rata-rata nasional.
Ada beragam penyebab proyek terbengkalai atau tak difungsikan, antara lain, karena tidak rampung lantaran kehabisan dana, timbul permasalahan hukum, pemilihan lokasi yang tidak tepat, hingga keengganan para pejabat baru melanjutkan program pejabat lama. Dengan kata lain, proyek-proyek tersebut dibangun tanpa perencanaan yang matang.
Dan kita percaya seperti dikatakan Alfian, seorang aktivis LSM antikorupsi, bahwa proyek-proyek yang kemudian telantar itu tidak terlepas dari kepentingan para pihak untuk mencari untung, bukan justru karena kebutuhan masyarakat. “Justru atas dasar keinginan pejabat.”
Ia ingatkan, proyek yang dibangun atas dasar keinginan pejabat (eksekutif maupun legislatif), hampir selalu menyisakan masalah. Kalau proyek itu dibangun atas dasar kebutuhan, tentulah akan berguna bagi masyarakat. Ujung-ujungnya tentu akan mendongkrak tingkat kesejahteraan.
Kita belum tahu berapa pula anggaran untuk program-program dan barang-berang telantar itu yang dikorup. Sebab, se bagaimana dikatakan aktivis antikorupsi tadi, bahwa sesuatu yang bernawaitu tidak pas, pada akhirnya pasti melahirkan masalah.
Pemerintah mestinya melakukan penghematan anggaran. Dan, jika membangun infrastruktur haruslah yang bermanfaat. Jangan membangun jembatan Abunawas atau proyek-proyek mercusuar lainnya.
Dengan harapan demikian, maka ke depan diperlukan perencanaan, penganggaran serta pengawasan yang baik dan matang. Sebab, perencanaan yang baik harus mengetahui dan memperhitungkan apa tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian tak ada lagi bangunan-bangunan mewah yang kemudian telantar alias mubazir seperti yang kini banyak ditemukan di mana-mana. Nah!?