Cerpen
Sahabat Terkekang
HARI ini seorang teman menemuiku, setelah sekian lama aku tidak bisa bertemu teman-teman, termasuk
Maulana langsung memotong kalimatku, dan menyambungnya dengan sedikit berteriak, “Hei, tidak usah terlalu panjang kau menjelaskannya. Aku masih ingat. Kemana saja kau? Aku berusaha mencarimu, tapi tidak tahu pada siapa aku bertanya. Kau dimana sekarang? Kapan kita bisa bertemu?” Anak ini betul-betul bersemangat sampai-sampai tidak memberiku kesempatan untuk menjawab. “Atau, sekarang posisimu dimana? Biar aku ke tempatmu.”
Aku cukup merasa senang mendengar Maulana tidak murung dan kesepian lagi, bicaranya begitu bersemangat dan berkobar-kobar. Meskipun aku yakin dia sedang dalam keramaian, dia benar-benar bebas sekarang.
“Jangan sekarang, nanti kita atur pertemuan kita.” Aku hanya tidak mau mengganggu kesenangannya, jika bertemu denganku sekarang mungkin akan mengingatkannya pada keadaannya di masa lalu.
Aku mencoba untuk mempersingkat pembicaraan kami. “Sebenarnya aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, meskipun kabar angin tentangmu sudah sangat sering aku dengar. Sekarang mendengar suaramu saja aku sudah senang, dan aku berterima kasih kau masih mau mengenalku. Satu lagi aku mau menyampaikan, awal bulan depan ada acara pertemuan alumni SMA kita, kalau kau punya waktu sempatkanlah untuk pulang.”
Kali ini dia tidak langsung menjawab pertanyaanku, setelah terdiam beberapa saat dia baru menjawab. “Tentu, aku sangat senang mendengar berita ini. Aku akan mengusahakan untuk bisa pulang.”
Aku yakin Maulana merasa agak keberatan untuk pulang, dia pasti merasa kebebasannya akan dirampas lagi. Lagi pula dia tidak banyak mengenal teman alumni SMA dulu. Dia menjawab seperti itu, hanya karena tidak enak denganku saja.
“Baik, kami sangat mengharapkan kedatanganmu. Mungkin aku akan pulang lebih awal untuk mempersiapkan semuanya. Sampai bertemu di sana!”
“Oke, meskipun aku masih berharap dan menunggu pertemuan kita di sini,” Maulana coba memancingku penuh harap, semangatnya untuk berteman dengan orang banyak sangat terasa.
Itu adalah komunikasi terakhirku dengan Maulana, seperti dugaanku dia tidak datang ke acara pertemuan alumni itu. Kini dia telah mendapatkan kehidupan baru yang membuatnya senang, untuk apa dia kembali ke tempat yang pernah membuatnya sengsara. Aku pun tidak memaksanya dan juga tidak mau mengusik kesenangan yang telah lama dia dambakan.
Lagi pula reuni ini bermasalah. Penyelewengan terjadi di mana-mana. Sangat kacau. Dan aku sebagai ketua panitia pelaksana reuni itu, aku salah seorang yang diminta pertanggungjawaban.
***
Setelah berpisah selama bertahun-tahun, hari ini Maulana ada di hadapanku. Namun dia menemuiku dengan wajah murung, sama seperti dulu waktu dia menatapku di bangku sekolah. Di kepalanya seolah menumpuk keluh-kesah yang amat banyak, entah bencana apa yang menimpa anak ini. Kondisinya sangat berbeda dari kabar terakhir yang kudengar tentangnya.
Maulana menarikku ke arah kursi di bawah pohon cemara yang rindang. Dengan senyuman aku bertanya padanya. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu? Dari mana kau tahu aku berada di sini?”
Dia mengabaikan pertanyaanku, dan memulai keluh kesahnya. “Aku minta maaf baru bisa menemuimu sekarang. Kau tidak memberitahuku dan tidak ada yang memberitahuku. Sebelum aku cerita panjang lebar aku juga mau minta maaf sekali lagi, aku tidak tahu harus cerita pada siapa lagi.”
Sambil menepuk pundaknya, aku coba sedikit mencairkan suasana. “Hei, ada apa denganmu? Jangan merasa tidak enak begitu. Aku ini temanmu. Cerita saja kalau kau punya masalah. Aku akan coba membantu semampuku, meskipun kau tahu kondisiku sekarang. Paling tidak aku akan setia mendengarmu.”