Cerpen
Sahabat Terkekang
HARI ini seorang teman menemuiku, setelah sekian lama aku tidak bisa bertemu teman-teman, termasuk
Nada suaranya mulai bergetar. “Kau tentu tahu dulu aku tidak punya teman karena aku terlalu dikekang. Kini aku telah bebas dan untuk melampiaskan amarahku. Aku mencari teman sebanyak-banyaknya. Aku tidak tahu cara berteman yang baik. Aku cukup bodoh dalam urusan ini. Semua temanku itu hanya ada di waktu aku senang--hanya mencariku waktu mereka butuh pertolongan. Bahkan mungkin mereka hanya ingin memanfaatkan kepolosanku, mereka hanya berteman dengan uang dan kebaikanku saja,” nada bicaranya penuh amarah dan penyesalan.
Kemudian sambil menekan suaranya, “Sekarang saat aku membutuhkan mereka, semuanya menjauh dan tidak ada yang mempedulikanku. Bahkan mereka mengucilkanku.”
“Memangnya sekarang kau ada masalah apa? Pertolongan apa yang kaubutuhkan dari mereka?” Aku mulai merasa khawatir.
Maulana menghela nafas panjang. “Ayahku meninggal, Mat. Perusahaan ibuku bangkrut dan dia terlilit utang. Semua aset keluarga kami disita. Sekarang ibuku tinggal di rumah nenekku di kampung halamannya.” Kini matanya mulai berkaca-kaca. “Ibuku bilang sekarang biaya kuliahku hanya bergantung pada gaji pensiun ayah, memang itu cukup kalau hanya untuk biaya SPP. Tapi biaya hidup yang lain?”
Maulana menyapu air matanya yang mulai menetes. “Aku coba untuk minta pertolongan dari temanku, paling tidak sambil menunggu aku dapat pekerjaan. Namun, tidak ada teman yang mau membantuku, semuanya pergi menjauh. Bahkan sekarang aku tidak tahu mau tinggal dimana. Aku benar-benar sendirian sekarang.”
Suasana menjadi hening untuk beberapa saat.
“Aku turut berduka atas meninggalnya ayahmu, aku turut prihatin atas musibah yang menimpa keluargamu. Mungkin ini teguran Tuhan untuk kita, kau harusnya bersyukur masih diberi kebebasan. “Meskipun aku sangat sedih, tapi aku harus terlihat kuat, paling tidak aku tidak membuat Maulana jadi makin sedih.
Aku coba untuk sedikit memberinya semangat. “Kita harusnya dapat mengambil pelajaran dari ini semua, dari kesalahan-kesalahan yang kita perbuat dimasa lalu untuk jadi orang yang lebih baik dimasa depan. Kalau kau mengkhawatirkan masalah teman, aku akan tetap menjadi sahabatmu. Tapi untuk sekarang aku hanya bisa menemanimu di sini.”
Tiba-tiba Maulana berdiri dan langsung memelukku. Airmatanya tak lagi dapat ia tahan. Begitupun denganku. Sudah lama aku tak menangis seperti ini.
“Kau memang teman sejatiku, mungkin ini yang dinamakan sahabat sejati. Terima kasih banyak untuk semua. Kau tidak perlu berbuat apa-apa untukku. Kau masih mau mengenalku pun aku sudah senang.”
Sedikit senyum tersungging dari bibir kami berdua, “Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata itu,” kataku sambil tertawa.
***
Tidak terasa sudah lama kami bicara, lonceng terdengar menandakan jam besuk sudah akan berakhir. Diakhir pembicaraan kami, aku menawarkan Maulana untuk tinggal di rumah yang aku sewa.
“Di Banda aku punya rumah. Rumah sewa. Sudah kubayar untuk 3 tahun. Sekarang baru jalan setahun dan tidak ada yang menempati lagi. Kalau kau mau kau boleh tinggal dulu di situ, aku tidak akan menempatinya dalam waktu dekat ini, paling tidak setahun dua bulan lagi.”
Sambil berdiri ingin pamit, sekali lagi Maulana memelukku. “Sekali lagi terima kasih banyak, aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikanmu. Aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa, terima kasih,” kali ini dia menundukkan kepalanya.