Cerpen
Pada Sebilah Rencong
MENJELANG akhir 1962, Cut Hayati, Dra Sastra Inggris, bertugas untuk UNTEA di Irian Barat. Dalam usia 25
Karya M. Joenoes Joesoef
MENJELANG akhir 1962, Cut Hayati, Dra Sastra Inggris, bertugas untuk UNTEA di Irian Barat. Dalam usia 25, dia berada di puncak kecantikannya. Banyak pemuda terpikat, tetapi tak satu pun dia tanggapi. Sampai dia bertemu dengan William Vanderstoel, Billy, pemuda Amerika keturunan Belanda, antropolog yang membantu misionaris di daerah itu.
Sedari mula, Billy sudah jelas-jelas menampakkan ketertarikannya kepada Cut Hayati. Pendekatannya menggebu-gebu. Dan Cut Hayati pun menanggapi. Bukan karena penampilan lahiriah Billy semata. Ada yang lebih menggetarkan kalbu Cut Hayati: Billy sarat ilmu. Maka berkencanlah mereka. Intensif. Sampai suatu ketika hati nurani Cut Hayati yang paling dalam menggeliat protes. Terkapah-kapah dia memikirkan ulang, apakah yang telah dilakukannya ini? Oh, betapa beratnya halang-rintang yang harus dilalui, kalau dia hendak meneruskan kebersamaan denganBilly, orang asing, Nasrani pula. Sebagai putri Aceh, diatak punya pilihan dalam urusan pendamping hidup, selain seorang laki-laki Muslim.
Cut Hayati menyatakan hal itu dengan tegas dan jelas kepada Billy.Dan terpanalah dia, ketika mendengar tanggapan Billy, “Jangan berputus asa seperti itu, Sweetheart. Aku rela lakukan apa pun, agar aku tetap berada di sisimu, menjadikan dirimu isteriku, ibu dari anak-anakku. Kalau untuk itu aku harus mengucapkan dua kalimah syahadah, aku siap!”
Dan Billy memang melakukan itu pada hari Minggu, 20 Januari 1963, sekitar seminggu menjelang Ramadhan 1382H.Dipilihnya Sabilal Rasyad sebagai nama barunya. Dan Cut Hayati pun menangis. Panjang. Dia merasa, Allah telah mengirimkan Billy untuk dirinya seorang.
Dan pada hari Senin, 18 Februari 1963, Cut Hayati tiba di Lamlagang, kampung halamannya. Orang-orang gempar dan hirukpikuk, karena bersama Cut Hayati datang pula pemuda bule berkopiah dan berbaju sadariah.
Billy berusaha betul menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga besar Cut Hayati. Walau ada kesulitan bahasa, dia merasa, keluarga besar itu dapat menerimanya. Semua orang menunjukkan sikap ramah dan bersahabat. Seorang tua bahkan coba menyapa dengan bahasa Belanda. Tetapi sopan Billy menjawab, dia tidak bisa bahasa Belanda. Dia orang Amerika, tidak punya hubungan lagi dengan Belanda. Cut Hayati lega sekali mendengar pernyataan Billy itu. Betapa pun juga, hal-hal yang terkait dengan Belanda masih bisa menimbulkan kesan tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang Aceh. Apa yang dilakukan Belanda ketika di Aceh, telah menerakan bekas yang sukar dihapus.
Ketika Cut Hayati dan Billy siap-siap kembali ke Irian Barat, Teungku Musafir,seorang ulama pengembara, yang pergi ke mana saja dibawa kakinya dan dipercayai sebagai wali, mendatangi pasangan itu, langsung bilang kepada Cut Hayati, “Cucuku, hati-hatilah! Laki-laki ini orang munafik! Dia orang yang penuh dendam dan maksud-maksud busuk lainnya. Hati-hatilah! Semoga Allah melindungimu.”
Cut Hayati terperangah. Tetapi untuk percaya, tunggu dulu!Ternyata, dia tidak perlu terlalu lama menunggu. Belum sebulan kembali ke Irian Barat, Lodewijk Rikimahu muncul di penginapannya. Laki-laki Ambon, usia limapuluhan, yang disapa Lody itu adalah pendeta lokal, yang sering mengadakan kontak dengan UNTEA, sehingga cukup kenal dengan Cut Hayati. Selain itu, Lody juga punya hubungan denganmisionaristempat Billy bergabung. Jadidiaakrab juga denganpemuda itu.
“Nona Hayati, terlebih dahulu saya minta maaf, karena ikut campur urusan pribadi Nona,” kata Lodewijk Rikimahu langsung.
Cut Hayati tergeragap, tanyanya, “Urusan pribadi apa, Om Lody?”
“Hubungan antara Nona dengan Mister Billy.”
“Hei, mestikah sampai ke situ, Om Lody!?”
“Saya mengerti, kalau Nona anggap saya lancang. Tetapi saya harus tetap bicara. Mestinya sejak dulu saya sudah harus bicara. Ya, lebih baik terlambat, daripada tidak samasekali.”
“Tentang apa semuanya ini, Om Lody? Jangan bingungkan saya.Jelaskan!”