Cerpen
Kunang-Kunang yang Menari pada Sepotong Senja
TAK ada kunang-kunang senja ini, Ree. Tak seperti biasanya, rinai hujan turun membasahi padang, tempat binatang
Dalam keadaan seperti ini aku jadi teringat pada Ree. Tak kudapati sosok itu sejak sore tadi. Aku memang agak sibuk sehingga tak ada waktu untuk menjaganya. Seorang pemuda mengatakan bahwa dia melihat seorang anak berlari ke arah lorong kecil belakang rumah. Ah, ia pasti ia berada di tempat itu lagi.Aku berjalan ke arah lorong kecil, menerobos lautan ilalang sepanjang jalan menuju ke persawahan. Di kejauhan terlihat atap dangau bermandikan cahaya keperakan. Sesampai di gubuk keadaan sangat senyap. Hanya suara jengkrik terdengar sayup-sayup. Napasku terengah-engah. Jantungku berdetak kencang. Bulu-bulu kulit meregang. Peluh melumuri sekujur tubuh.
“Ree, Ree dimana kamu! Ini Ayah Nak,” aku mendobrak pintu. Tak terdengar orang di dalam. Hanya warna pekat yang tampak menghiasi dangau.”Ree jangan membuat Ayah panik. Cepat keluar!” suaraku serak. Kuraba semua bagian papan sampaike sudut dinding. Siapa tahu anak itu tergelatak di sana. Tapi tak kutemui sehelai benang pun. Kuturuni tangga dengan langkah gontai. Cieet! Tanpa sengaja aku menginjak sebuah benda karet saat berada di bawah tangga. Ini pasti sandal jepit milik Ree.Kuraba permukaan tanah hingga menyentuh paha mungil. Ya, aku menemukan sesosok manusia yang terbujur kaku dalam pekat. Sekujur tubuh yang dingin. Ree, semoga kau masih hidup.
***
Ree tergelatak di ranjang rumah sakit. Jarum infus masih menancap di pergelangan tangannya. Dokter juga baru saja mengganti perban di kepalanya. Kepala Ree mengalami pendarahan serius karena terbentur dengan batu semalam. Aku membelai rambut Ree lalu mencium keningnya. Matanya masih terpejam. Wajah itu kian mirip dengan mendiang Nisa. Bedanya wajah Nisa berbentuk oval, sedangkan wajah Ree bulat bulan purnama.
Oya, semalam aku bermimpi tentang Nisa. Dalam mimpi itu, aku, Nisa, dan Ree pergi bertamasya ke pantai. Kami bercanda riang dengan ombak setelah bosan membangun rumah-rumah pasir. Seketika datanglah ombak besar, tubuh Nisa hilang dalam ombak tersebut. Beberapa detik kemudian ombak susulan yang lebih besar dari ombak pertama kembali menerjang.Menggulung tubuh mungil Ree.”Ree, tidaaak!” Aku memekik histeris.Pintu kamar dibuka. Ibu dan Fadila masuk. Sang istri memegang kedua pipiku. “Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Hanya teringat mimpi buruk semalam”
“Ooo, apa kata dokter tadi tentang Ree?”
“Ree mengalami pendarahan hebatdi kepala usai terjatuh dari dangau. Butuh proses yang lama untuk membuat ia pulih”Fadila menatapku dengan lesu.Sementara Ibu mendekati ranjang.
“Cepat sembuh ya Ree!” ibu mengucapkan kata itu dengan suara parau. Tak seperti biasa, ia selembut ini pada Ree.Aku tak tahu apakah beliau tulus mengucapkan atau hanya pura-pura. Dokter kemudian masuk diiringi oleh dua perawat.
Aku hampir saja tertidur saat sepotong suara itu terdengar. Seorang perawat mengabarkan bahwa kondisi Re sedang kritis. Aku segera berlari ke kamar tempat ia dirawat.”Bagaimana Dok kondisinya?” Mulutku bergetar.Dokter menggelengkan kepalanya. “Kami sudah berusaha dengan sebaik mungkin, tapi...” Dokter menepuk pundakku. “Allah berkehendak lain. Kuharap Bapak tabah menerima kenyataan ini!”
“Ree!” Aku bergumam. Seolah masih tak percaya jika ia pergi secepat ini. Beberapa petugas terlihat mendorong ranjang roda yang berisi jasadnya. Aku hanya terpana menatap sekujur jasad kaku yang tertutup kain itu. Tak terasa embun dimataku tumpah. Untuk kesekian kalinya aku menangis untuk Ree.
***
Dengan dada sesak kubuka lembaran kertas lembab penuh bercak merah. Sebuah kertas berisi gambar dua orang perempuan berkacak pinggang sedang menunjuk ke arah seorang anak kecil. Ah, Ree, kutahu perih batinmu walau tak pernah kau ungkapkan dengan lisan. Kau ceritakan gelisah hatimu tentang pestaku, kau tumpahkan keluh itu melalui coretan gambar saat kunang-kunang menari pada sepotong senja. Ree, kutahu kau sama sekali tak berbahagia dengan pernikahanku.
Maafkan aku Ree, ternyata aku keliru. Kukira Fadila bisa mengobati kerinduanmu akan kasih sayang seorang ibu, tapi malah membuatmu semakin resah.Ah Ree, andai kutahu isi hatimu, andai kutahu kau lebih memilih menyusul Nisa,tentu aku tidak akan menikah. Aku lebih berbahagia bersama kalian. Kau dan Nisa adalah permata yang tak pernah tergantikan sepanjang masa.Aku akan terus merindui kalian di sini, di tempat ini. Senja hampir berakhir dan hujan juga sudah reda. Terlihat dua bintik cahaya menari di padang rerimbunan. Sinarnya benderang sekali. Ree, itu pasti kau bersama ibumu.
* Hendra Kasmi, mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia PPs Unsyiah. Pengajar di STKIP Bina Bangsa Getsempena