Opini
Mimbar Rasulullah SAW
MIMBAR adalah satu peralatan penting yang terdapat di setiap masjid
Oleh Maizuddin M. Nur
MIMBAR adalah satu peralatan penting yang terdapat di setiap masjid. Hal ini didasarkan pada praktek Rasulullah bahwa beliau menyampaikan khutbah menggunakan mimbar. Beliau mulai memakai mimbar pada tahun ke tujuh atau setelah masjid Nabawi direnovasi. Ada juga yang menyatakan penggunaan mimbar pada tahun ke delapan hijriah setelah dikuasainya Khaibar. Mimbar ini terutama digunakan Rasulullah untuk khutbah Jumat. Sedangkan untuk khutbah ‘Id, informasi sebagian hadis menjelaskan Nabi tidak menggunakannya. Nabi berkhutbah di atas kenderaan beliau.
Secara umum terdapat dua bentuk mimbar pada banyak masjid. Pertama, mimbar dengan model anak tangga di depan. Model ini terlihat dalam beberapa bentuk: terdiri dari tiga tangga atau lebih, memakai atap dan tanpa atap, serta menggunakan pintu atau tanpa pintu. Kedua, mimbar dengan anak tangga terdapat di belakang, sementara pada bagian depan tertutup hingga separoh atau sepertiga badan khatib atau penceramah. Kedua bentuk mimbar tersebut terkadang dihiasi pula dengan berbagai ukiran.
Sebagian orang membedakan mimbar dengan podium. Model pertama ini mereka sebut mimbar, sedangkan model kedua disebut podium. Namun, bila dilihat bahwa mimbar yang terambil dari kata nabara yang bermakna mengangkat atau meninggikan sesuatu, tidak ada beda mimbar dengan podium. Semua tempat yang tiggi untuk berpidato atau khutbah dapat dikatan mimbar.
Usulan sahabat
Beberapa hadis menjelaskan bahwa Nabi awalnya berkhutbah di atas pangkal pohon kurma, lalu sahabat mengusulkan agar dibuatkan untuk beliau mimbar supaya jamaah dapat melihat dan mendengar khutbah. Dalam riwayat Imam Bukhari yang disampaikan oleh Jabir usulan tersebut datang dari seorang wanita Anshar yang dalam riwayat lain disebutkan wanita tersebut memiliki anak seorang tukang kayu. Wanita tersebut menyatakan kepada Nabi: Bolehkah kami membuat mimbar untukmu? Kemudian Nabi mempersilahkannya.
Dalam riwayat Imam Abu Daud, usulan tersebut datang dari sahabat yang bernama Tamim al-Dari yang dalam riwayat lain ditambahkan ia yang pernah melihat mimbar di Syam, lalu Nabi menerima usulan itu. Ada yang menjelaskan bahwa usulan tersebut datang dari seorang sahabat yang tidak disebutkan namanya, yang menawarkan kepada Nabi membuat mimbar, Nabi kemudian menerima tawaran tersebut.
Hadis lain yang disampaikan oleh Sahal yang terdapat dalam beberapa kitab hadis menjelaskan bahwa Nabi memerintahkan kepada wanita Anshar yang memiliki anak tukang kayu tersebut untuk memerintahkan anaknya membuat mimbar. Tetapi perintah Nabi ini dipahami oleh ulama hadis sebagai perintah untuk mempercepat pembuatan mimbar atau perintah yang menunjukkan bahwa tawaran wanita tersebut dipastikan diterima oleh Nabi, bukan sebagai perintah yang menggagas pembuatan mimbar. Gagasan pembuatan mimbar dipahami dimunculkan oleh wanita sahabat Nabi tersebut. Hal ini didasarkan atas banyak dan kuatnya hadis yang menginformasikan mimbar sebagai usulan sahabat kepada Nabi.
Usulan sahabat tersebut dapat dipahami bahwa mereka kesulitan melihat dan mendengar beliau berkhutbah. Hal ini disebabkan jamaah kaum muslimin semakin hari semakin banyak. Pada tahun ke-7 atau ke-8 Hijriah, masyarakat muslim tidak hanya terdiri semenanjung Arab, tetapi juga telah meluas sampai ke Irak. Sebagian dari warga muslim dari daerah lain berdatangan ke Madinah untuk mendapatkan pelajaran dari Rasulullah. Itu sebabnya muncul ide dari salah seorang mereka membuat mimbar untuk Nabi supaya mereka dapat melihat Nabi dengan leluasa dan mendengarkan pengajaran-pengajaran dari beliau.
Mengenai bentuk atau model mimbar, tidak ditemukan petunjuk Nabi seperti tangga dari arah depan atau dari arah lainnya atau begitu juga jumlah anak tangga yang hanya tiga tingkat. Ketika Sahabat mengusulkan membuat mimbar Hanya menjawab “silakan kalau kamu mau” (in syi’tum) atau “ya” (na’am/bala). Bagian yang paling jelas yang dinformasikan kitab-kitab hadis seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad adalah mimbar dibuatkan oleh tukang kayu. Hal ini terlihat dari redaksi beberapa hadis. Meskipun dengan redaksi yang berbeda antara satu hadis dengan hadis lainnya, tetapi maksudnya adalah sama, seperti “dibuatlah untuk beliau tiga tingkat anak tangga” (fashuni’a lahu tsalatsu darajat), “maka dia (tukang kayu) membuat (mimbar) dengan tiga anak tangga” (fashana’a tslatsa darajat), “dia (tukang kayu) membuat mimbar Nabi tiga anak tangga” (fa’amila al-mimbar tsalatsa darajat) “lalu mereka membuatnya bagi Nabi (mimbar) tiga anak tangga” (fashana’u lahu tsalatsa darajat).
Atas dasar itu dapat dinyatakan bahwa kemunculan mimbar Rasulullah dan modelnya bukanlah berdasarkan wahyu atau ijtihad Nabi, tetapi adalah murni ide sahabat dan kreasi tukang kayu. Sebagai kreasi tukang kayu, hal ini dapat berasal dari daya imajinasinya sendiri dipadu dengan budaya masyarakatnya dan pengalaman. Atau juga adopsi dari bentuk mimbar di negeri lain seperti mimbar yang diusulkan oleh Tamim al-Dari di mana ia pernah melihat mimbar di Syam. Artinya, model mimbar tersebut dapat saja mencontoh mimbar yang ada di Syam.
Bentuk mimbar
Menyimak sababul wurud penggunaan mimbar dan bentuknya yang muncul dari gagasan manusiawi, dapat dipahami bahwa penggunaan mimbar apalagi bentuk mimbar Nabi bukanlah sesuatu yang mengikat kaum muslimin. Artinya, kaum muslimin boleh menggunakan mimbar dan model seperti Nabi saw sebagai kreasi manusiawi yang muncul pada 14 abad yang lalu atau boleh juga menggunakan model mimbar yang sesuai dengan kebutuhan masa kini. Oleh ahli-ahli ilmu ushul fiqh, persoalan seperti ini disebut dengan istilah la hukma lahu ashlan (tidak mengandung hukum sama sekali), la imtimsaka bihi (tidak untuk menjadi pegangan), laisa fihi sunnah (bukan untuk diteladani), la bihi iqtida’ (tidak untuk diikuti), laisat bi qurbah (tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah). Atau dalam istilah baru yang dipoperkan oleh ulama-ulama kontemporer seperti Muhammad Syaltut dan Yusuf al-Qaradhawi sebagai sunnah ghair tasyri’iyah, sunnah yang tidak dimaksudkan sebagai ketetapan hukum untuk diikuti dan diamalkan.
Itu sebabnya dalam kitab-kitab fiqih, tidak didapati menggunakan mimbar sebagai persyaratan sahnya khutbah Jumat, apalagi menggunakan mimbar yang sama bentuknya dengan mimbar yang digunakan Nabi. Dalam kitab-kitab fiqih, penggunaan mimbar hanyalah sebagai salah satu sunnah khutbah Jumat. Tanpa menggunakan mimbar pun khutbah Jumat masih dipandang sah. Hal ini menyiratkan bahwa penggunaan mimbar dalam pandangan para ahli hukum bukanlah hal yang substansial yang ketika tidak digunakan akan merusak sahnya ibadah Jumat.
Mimbar hanyalah media yang digunakan agar khatib dan jamaah dapat berinteraksi dengan kebih baik. Dalam redaksi beberapa hadis disebutkan “agar orang-orang dapat melihat Rasulullah dan mendengar khutbah beliau”. Melihat Rasulullah dalam berkhutbah tentu memberi nuansa tersendiri dalam menangkap isi khutbah dibanding tidak melihat Rasulullah. Apalagi Rasulullah menjadi idola bagi para sahabat yang betul-betul beriman kepada Allah dan Rasul. Dengan tatap muka ini jamaah yang mendengar apa yang disampaikan oleh Rasulullah akan lebih efektif menangkap pesan beliau.
Pada masa Nabi belum ada alat pengeras suara seperti sekarang ini, sehingga para jamaah mendengar pembicaraan Nabi secara alamiah. Ketika jamaah semakin banyak, cara mendengar seperti ini tidak lagi begitu efektif. Salah satu cara sederhana agar apa yang disampaikan Nabi lebih efektif didengar adalah dengan meninggikan tempat Nabi berkhutbah. Wallahu a’lam bi al-shawab.
* Maizuddin M. Nur, M.Ag., Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: maizuddin72@gmail.com