Cerpen
Pos Tentara
Pada dinding tembok bekas pos tentara yang ada di desa saya, kini telah menjadi tempat curahan tulisan
“Tapi Teungku, untuk apa Teungku tidur di sini. Di sini banyak nyamuk dan pacat yang bisa menggigit Teungku.”
“Pergilah Gam, kau masih muda, kau tak akan mengerti apa yang aku rasakan,” katanya lagi. Perkataan Teungku membuat saya terdiam. Ya, saya memang masih muda. Tak pantas menanyai segala urusan orang tua. Saya memang salah. Saya merasa lancang bertanya pada Teungku Mudin yang tak lain adalah bekas guru mengaji saya.
Saya lihat kemudian Teungku Mudin membaringkan tubuhnya di atas balai bekas pos tentara itu. Beliau masih terlihat sedih. Perasaan iba semakin berputar-putar di hati saya. Tapi saya harus segera meninggalkan beliau seperti pintanya. Saya pun memalingkan tubuh meninggalkannya.
***
Di rumah, Abi menyambut kepulangan saya dengan wajah tidak seperti biasanya. Abi biasanya langsung tersenyum begitu melihat saya muncul di hadapannya. Tapi kali ini tidak. Abi terlihat kesal, atau habis marah pada seseorang. Apa yang membuat Abi bersikap demikian. Apakah Abi marah? Pertanyaan itu beberapa saat terpendam di hati saya.
“Saya perhatikan abi seperti tidak senang melihat saya pulang. Ada apa Abi?” Tanya saya saat Abi memotong-motong daging rusa hingga membentuk sebesar ibu jari.
“Apa aku tak kesal Mae, itu apa kau tidak melihat si Mudin kini sudah gila. Kerjanya kini tiduran di bekas pos tentara itu. Sudah beberapa kali kusuruh dia pulang, tapi dia tak mau hiraukan aku. Kau tahu, aku tak suka ada orang di pos itu.”
“Memangnya kenapa Teungku Mudin tidur di pos itu Abi,” kuharap pertanyaanku itu bisa menjawab kenapa Teungku Mudin tadi kulihat sangat bersedih.
“Dia tertusuk dengan anak panahnya sendiri.”
“Maksud Abi,” tanyaku penuh heran.
“Dia dipermalukan oleh anak murid-muridnya sendiri. Salah Mudin juga, meremehkan orang dan menganggap diri lebih hebat.”
“Tadi aku juga melihat Teungku Mudin di pos itu Abi, wajahnya sedih sekali. Teungku Mudin tadi juga kulihat habis menangis. Kenapa Teungku Mudin sampai seperti ituAbi.”
“Ha ha ha ha, aku takut Mudin benar-benar menjadi gila. Kalau sampai demikian bagaimana nasib dayahnya itu.”
“Sebenarnya apa yang membuat Teungku Mudin begitu bersedih?”
“Ulah si guru Bahar. Dia benar-benar menumpahkan sakit hatinya pada si Mudin.”