Cerpen

Pos Tentara

Pada dinding tembok bekas pos tentara yang ada di desa saya, kini telah menjadi tempat curahan tulisan

Editor: bakri

“Pak guru Bahar yang mengajar di es-em-pe?”

“Ya. Sebenarnya mereka sudah lama bersitegang. Dari dulu Mudin menganggap bahwa sekolah pemerintah itu tak ada gunanya. Guru-guru tak bermutu yang tidak membawa kebaikan pada anak-anak. Untuk apa sekolah kalau jadi pengangguran, lebih baik di dayah saja, menuntut ilmu agama. Pendapatnya itu selalu diungkapkannya pada orang sekampung. Malah dalam sebuah rapat kampung, Mudin pernah mengungkapkan hal itu, padahal saat itu ada guru sekolah. Tidak jarang dia mengolok-olok para guru, terlebih si Bahar. Si Bahar yang merupakan kepala sekolah sering dituduhnya sebagai kepala sekolah tak becus, karena tiap tahun banyak anak-anak kampung yang tak lulus ujian nasional. Juga banyak anak-anak yang tak naik kelas. Kenakalan menjadi-jadi. Untung ada dayah tempat dia memberikan nilai-nilai agama pada anak-anak kampung. Dalam ceramah-ceramahnya di meunasah pun terkadang Mudin mengungkapkan betapa tak bermanfaatnya pendidikan pemerintah itu.”

“Lalu?”

“Itulah, si Bahar satu minggu yang lalu menyeret lima siswanya ke dayah si Mudin. Ke lima anak-anak itu adalah murid si Mudin juga yang tinggal di dayah itu.”

“Kenapa mereka Abi?”

“Katanya, para guru merazia siswa yang memakai handphone di sekolah. Kelima siswa itu, di dalam handphone mereka, memiliki gambar dan video porno. Si Bahar memaki-maki si Mudin. Orang sekampung keluar rumah. Menyaksikan dan mendengar sumpah serapah si Bahar. Abi juga ada di sana waktu itu.”

“Kata si Bahar, apa itu dayah, katanya tempat menuntut ilmu agama. Tempat menanamkan nilai kebaikan. Mengaji siang malam. Menghapal ayat-ayat Al Quran, tapi murid-muridnya tidak bermoral juga. Apa itu si Teungku Mudin. Apa kerjanya di dayah itu. Mengapa murid-muridnya sampai bisa menyimpan gambar dan video porno di handphone-nya, padahal mereka tinggal di dayah. Si Bahar hari itu benar-benar mempermalukan si Mudin. HP milik anak-anak itu diperlihatkannya kepada orang kampung. Orang kampung sangat terkejut dan tidak pernah menyangka jika anak-anak yang tinggal di dayah bisa berprilaku seperti itu.”

“Bagaimana tanggapan Tengku Mudin waktu itu?”

“Belum pernah aku lihat Mudin takut seperti itu, tiba-tiba wajahnya memucat. Badannya gemetar. Dia tidak bisa bicara kecuali dengan ketakutan menyelimutinya.”

“Kenapa dia bisa seperti itu?”

“Entahlah. Sekarang orang sulit mengajaknya bicara, termasuk keluarganya sendiri. Dia pun sudah tidak mau tinggal di dayah miliknya. Dia mungkin benar-benar sudah gila, tempat bekas markas tentara itu dijadikan tempat tidurnya. Sudah berulang kali aku usir dia, tapi dia tidak mau pindah juga. Benar-benar gila.”

“Kasihan Teungku Mudin.”

“Makanya kalau jadi orang jangan begitu.”

Aku duduk terdiam, memikirkan Teungku Mudin.

***

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved