Cerpen
Pos Tentara
Pada dinding tembok bekas pos tentara yang ada di desa saya, kini telah menjadi tempat curahan tulisan
Benar seperti yang dikatakan Abi, Teungku Mudin esok harinya kutemukan lagi berada di bekas pos tentara itu. Seperti kemarin, wajahnya masih nampak bersedih. Wajahnya semakin kusut-masai. Ia duduk di balai bekas pos tentara itu.
Saya coba mendekati beliau dengan langkah sangat hati-hati sekali. Ada perasaan sedikit takut, atau entah apa namanya yang membuat langkah kaki saya seperti tertahan-tahan.
“Assalamualaikum, Teungku,” kata saya.
“Waalaikum salam,” jawabnya pelan. Lalu ia sorot tubuh saya dengan dua matanya yang lemah. Saya semakin kasihan pada Teungku.
“Oh kamu lagi”
“Ya Teungku.”
“Duduklah.”
Saya pun duduk di samping beliau. Hari ini nampaknya Teungku Mudin lebih berlunak hati. Bisa menerima saya dengan senang hati.
“Aku benar-benar malu, kau tahu itu?” Katanya dengan perasaan seperti tertekan batin. Dan seolah merasa bersalah karena mengusir saya kemarin.
“Abi sudah cerita semuanya pada saya Teungku.”
“Jadi menurutmu aku harus bagaimana. Aku telah dipermalukan oleh si Bahar.”
“Kembalilah Teungku pulang ke dayah,” kata saya.
“Aku belum bisa ke sana. Aku malu. Biar aku di sini saja.”
“Menurut saya Teungku pulang saja ke dayah dan kembali mengajar anak-anak.”
“Aku belum bisa Gam, aku belum bisa kembali ke dayah. Biarlah aku di sini. Aku tahu abimu tak suka jika aku tinggal di sini. Itu bukan salah aku-kan? Salah abimu sendiri tidak bisa melupakan dendam. Tidak ikhlas.”
Saya terdiam. Ada perasaan marah pada Teungku. Beliau tidak mengerti perasaan Abi. Beliau juga tidak mengerti bagaimana saya terluka pada apa yang diucapkannya itu. saya benar-benar tidak suka jika Teungku berbicara seperti itu.
“Aku tahu, si Puteh, mati ditembak tentara di sini karena dituduh GAM. Iyakan? Bilang sama abimu, lupakanlah masa lalu itu,” katanya dengan nada datar. Saya kembali hanya terdiam. Tidak menyahut kata beliau. Saya sungguh ingin segera meninggalkan Teungku dari bekas pos tentara itu. Saya benci dia. Sungguh, saya ingin dia gila. Seperti kata Abi.
* Farizal Sikumbang, tinggal di Aceh Besar. Penikmat sastra.