Cerpen

Hikayat Emping Melinjo

Di seberang sebuah anak sungai di Pidie, kau akan menemukan sebuah kampung di mana pohon-pohon melinjo tumbuh berhimpitan

Editor: bakri

Ia kembali terngiang ketikasuatu subuh Ibrahim berdiri di pintu sumurdan berdehem beberapa kali. Ketika itu anak-anaknya sudah semakin jarang menjumpainya. “Kaukah itu, Ibrahim?”

“Iya, Ibu.”

Ketika ia masuk ke dalam rumah, Hasanahkembali merebahkan tubuhnya di atas balai di dekat dapur. Matanya menatap langit-langit. Selang beberapa saat, Hasanah bertanya, “Di mana Ismail?”

Ia lalu bangkit dari balai dan menuju ke tungku untuk mendorong kayu bakar yang telah setengah dimakan api.

“Dia sehat, Bu.”

“Aku tanya,” kata Hasanah sambil menatap tajam ke wajah Ibrahim. “Di mana Ismail?”

“Dia bersama pasukan lain, Bu.”

Hasanah diam sesaat. Sebuah tinju seperti mendarat di kepalanya.

“Aku tak akan membuka pintu lagi jika kau pulang ke rumah tanpa Ismail,” ujar Hasanah, ketika ia menghidangkan semangkuk kuah sisa kemarin malam di atas meja makan.

Usai makan dan beristirahat sesaat, Ibrahim pergi meninggalkan rumah dengan menyelempangkan senjata AK-47 di atas bahunya. Sebagai seorang ibu, jelas Hasanah begitu mengkhawatirkan anak bungsunya, Ismail. Ketika Hasanah bertemu Ismail terakhir kali, tubuh anaknya yang tegap itu dibalut kemeja loreng usang. Sebelum meninggalkan rumah, Ismail, remaja yang memiliki hidung mancung dengan tinggi hampirsetinggi pilar-pilar di rumah panggung itu, menyalami ibunya penuh takzim. Sedikit lama. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya.

Kala itu, tak ada yang diharapkan Hasanah selain kedua anaknya bisa pulang ke rumah dan menjalani hidup seperti sediakala sebelum keduanya memilih menjadi gerilyawan pada suatu hari setelah beberapa tahun ayah mereka, Yakub, hilang tanpa jejak.

Beberapa minggu kemudian, Ibrahim kembali ke rumah.Tapi karena ia pulang seorangdiri dan tidak bisa menjawab pertanyaan Hasanah tentang keberadaan adiknya, Hasanah urung membuka pintu. Dia menahan pintu rumahnya dengan kuat, seperti menahan sesuatu yang telah bertahun-tahun membuat dadanya sesak.

“Ibu,” kata Ibrahim di bawah tangga, setengah terisak. “Aku lapar.”

“Aku takut, Bu,” kata Ibrahim lagi.

“Aku tak akan pernah membuka pintu rumahku jika kau pulang tanpa Ismail!” seru Hasanah sambil menyapu airmata di pipinya.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved