Cerpen

Hikayat Emping Melinjo

Di seberang sebuah anak sungai di Pidie, kau akan menemukan sebuah kampung di mana pohon-pohon melinjo tumbuh berhimpitan

Editor: bakri

“Kau seharusnya kumasukkan kembali kedalam rahimku karena kau sama sekali tak berguna!”

HASANAH telah selesai menjemur emping-emping melinjo ketika seorang laki-laki muda dengan hidung yang mengembang bagai jambu air memasuki pekarangan rumahnya.

“Ibu,” ujar laki-laki muda itu, sesampainya di hadapan Hasanah. “Sampai kapan kau tak mau membuka pintu rumahmu, Bu. Sampai kapan kau membiarkan aku terkatung-katung antara langit dan bumi?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Hasanah mengalihkan pandangannya yang semula menatap tanah, ke arah laki-laki muda yang memiliki kulit seputih tepung itu. Tapi tetap saja Hasanah tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Lalu laki-laki berwajah murung itu raib, seperti ada angin yang meniupnya. Laki-laki itu adalah Ibrahim. Seekor ayam hutan yang memiliki taji panjang dan melengkung ke atas seperti huruf ba, mengais-ngais tanah dengan gerak kaki yang payah dan lambat,tak jauh dari tempat Hasanah duduk. Ayam itu membuyarkan lamunannya. Hasanah bangkit dari tempat duduknya, memijat jidatnya yang berkerut dan mengedip-ngedipkan matanya sejenak. Ia seakan melihat ribuan semut berserakan di udara. Lalu ia berjalan ke arah tangga depan rumah panggungnya yang dipenuhi daun melinjo kering. Di anak tangga kelima, ia duduk dengan melemparkan pandangan ke depan. Hasanah menyandarkan tubuhnya di daun pintu dengan mata berat.Dia agak lelah dan berusaha memejamkan matanya. Dia terkejut ketika sebuah suara memanggilnya. Suara Ibrahim. Dan Ibrahim berdiri di bawah tangga.

“Ibu,” kata Ibrahim, yang suaranya seolah memantul dari dinding-dinding rumah, “Bolehkah aku masuk?”

“Di mana Ismail?” ujar Hasanah ketus.

“Aku benar-benar tidak tahu, Bu,” jawab Ibrahim terbata. “Aku mohon, Bu.”

Hasanah menggeleng dan memejamkan matanya kembali. Itu sudah cukup sebagai isyarat dia menolak permintaan anak sulungnya. Segera setelah itu, angin bertiup. Suara angin yang menggoyang dahan-dahan pohon melinjo terndengar mirip suara rintihan. Dan Ibrahim hilang bersamaan dengan lenyapnya suara-suara itu, tepat ketika dahan-dahan pohon melinjo tak lagi bergoyang.

SUATU subuh pada hari meugang Idul Fitri, Hasanah sedang mencuci beras di sumur. Ketika melemparkan timba ke sumur, air sumur memantulkan wajah Ibrahim. Dengan suara menggema Ibrahim berkata, “Ibu maafkan aku dan izinkan aku masuk.”

Hasanah meremas-remas beras di dalam panci yang telah diisi air dengan sekuat tenaga yang ia punya. “Bahkan ketika meugang pun kau tak izinkan aku masuk,” kata Ibrahim lagi.

Mendengar permohonan yang lebih mirip ejekan itu, sesuatu bergemuruh kencang di dalam dada Hasanah. Ia mengutuk sumur, lantas membuang panci beserta isinya ke dalam sumur.

BEBERAPA penggembala yang mencari sapi-sapi mereka yang tersesat dan berjalan jauh hingga ke lereng Perbukitan Barisan, mengatakan kepadaku, bahwa ada sebuah kampung di seberang sebuah anak sungai yang banyak ditumbuhi pepohonan melinjo tidak benar-benar ditinggalkan penduduknya.Menurut para penggembala itu, sekali-kali mereka masih mendengar suara-suara ketukan palu di sebuah rumah. Kadang-kadang di tengah keheningan, para penggembala mendengar suara seorang perempuan yang berbicara seorang diri dan hampir-hampir tidak menyadari kehadiran mereka.

“Ibrahim,” kata Hasanah. “Enyahlah dari hadapanku. Berapa kali harus kukatakan, aku tak akan membuka pintu jika kau pulang tanpa Ismail.”

Mendengar kata-kata Hasanah, seorang penggembala yang melintas di depan rumah itu dan cemas belum menemukan sapinya, menyahut dengan canggung, “Saya Sulaiman, Bu.”

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved