Bentrok di Aceh Singkil
Singkil Kota Tua yang Berpindah
Penduduk Kota Singkil ketika itu, hanya berjumlah 2.104 orang. Terdiri dari 6 orang Eropa, 55 orang Cina, 183 orang Arab
2. Perang Belanda di Singkil
Karena kota Singkil sudah tenggelam, masyarakat Singkil eksodus atau mengungsi. Mereka pindah ke bagian Selatan Singkil yang lokasinya agak menjorok ke darat.
Terletak berseberangan dengan Kota Singkil sekarang, lazim disebut Pasi Tangah. Di situlah mereka membangun pemukiman. Pemukiman ini disebut masyarakat Singkil Kedua atau Singkil Lama. Kota ditata dan rumah-rumah penduduk pun dibangun. Fasilitas lain pun diselesaikan. Sehingga Singkil kembali menjadi kota idaman.
Namun, sekitar kurang dari 20 tahun tinggal di Singkil atau Singkil Lama dijadikan pemukiman. Hari Jumat tahun 1890, kembali Allah SWT menunjukkan kekuasaannya, memberi cobaan kepada manusia. Singkil lagi-lagi dilanda bencana. Air bah datang dari hulu sungai menerjang muara. Akibatnya, di perairan Sungai Singkil terbentuk delta-delta.
Kawasan sungai dan Muara Singkil menjadi dangkal, sehingga menyulitkan kapal untuk berlabuh. Kalau kapal sulit berlabuh, dengan sendirinya bongkar muat barang menjadi repot.
Suasana yang demikian membuat perdagangan tidak lancar dan perniagaan memerlukan biaya yang besar. Akhirnya, pada tahun 1900, pemerintah Belanda memindahkan Kota Singkil ke lokasi Singkil sekarang atau disebut dengan Singkil Baru (New Singkil/Pondok Barö), lebih kurang tujuh kilo meter ke arah Timur Laut.
Kepindahan ini, diikuti pula oleh masyarakat Singkil. Di tempat yang baru ini, penduduk Singkil memulai menata kehidupan. Kembali membangun perumahan dan fasilitas infrastruktur lainnya.
Di tengah kesibukan menata kehidupan, rakyat Singkil dihadapkan kepada tantangan baru berupa invasi penjajahan Belanda. Hubungan Singkil dengan Belanda yang semula hubungan dagang, tiba-tiba beralih menjadi konflik atau pergolakkan bersejata alias perang.
Seorang kontrolir yang bernama Inggram dikirim ke Singkil. Lantas Inggram bersama jajarannya, melancarkan taktik dan siasat untuk menguasai Singkil.
Hasil bumi Singkil mereka kuras dengan jalan kekerasan di bawah kepulan asap mesiu. Peperangan pun tidak terelakkan. Dari sini, peperangan terus berlanjut hingga berpuluh tahun lamanya.
Tanah Singkil, tidak pernah kering dari tetesan darah anak bangsa untuk memperjuang sebuah kebebasan dan mengangkat harga diri supaya jangan diinjak oleh penjajah.
Akhirnya, pemerintah Belanda sedikit demi sedikit, secara terukur dan terencana menancapkan kuku hegemoni (penjajahannya) di Kota Singkil.
Hal ini terbukti dengan dibangunnya kantor-kantor pemerintah, rumah controleur, tangsi militer, rumah beacukai, dermaga, mercusuar, lapangan bola kaki, gedung sekolah, lokasi rumah penduduk, dan pengaturan jalan-jalan plus rumah-rumah orang Eropa.
Rumah-rumah orang Eropa ini, sengaja dibangun dan ditata dengan apik dan indah. Bangunannya menghadap ke sebuah danau besar yang sumber airnya dari alur Sungai Singkil. Tetapi sekarang, bekas danau tersebut telah ditumbuhi berbagai tumbuhan rawa, seperti nipah, hutan mangrove, eceng gondok, dan tumbuhan lainnya.
Pemerintah Hindia Belanda juga membangun rumah Datuk Besar Singkil atau Datuk Abdul Rauf, orangtua dari Datuk Murad. Rumah ini tergolong besar, terasnya dijadikan pendopo, tempat melakukan pertemuan-pertemuan. Karena besarnya rumah ini, orang Singkil menyebutnya dengan Rumah Gadang.
Di samping rumah gadang, dibangun pula sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Baiturrahim. Untuk memudahkan berwuduk, di depan masjid ini di bangun Belanda sebuah sumur bor.
Sampai sekarang, meskipun sumur bor itu telah berusia ratusan tahun, dan telah dilakukan modifikasi, sumur bor masih berfungsi, airnya lancar dan tetap jernih.
Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga membangun sekolah rakyat, kantor polisi, kantor pos serta kantor telegram yang dapat menghubungkan Kota Singkil dengan berbagai kota lainnya di Indonesia.