Berkunjung ke Meunasah Atjeh di Stockholm
KIRANYA ayat Alquran tersebutlah yang saat ini selalu saya ingat atas segala nikmat yang telah Allah
OLEH HUSNUL HAFIZA, Penerima Beasiswa Erasmus+ Program Expert Sustain 2015-2016, melaporkan dari Swedia
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS: Ar-Rahman)
KIRANYA ayat Alquran tersebutlah yang saat ini selalu saya ingat atas segala nikmat yang telah Allah limpahkan kepada saya. Bagaimana tidak, belum pernah terbayangkan sebelumnya saya dapat belajar ke luar negeri, terlebih ke Swedia, negara yang memiliki kaitan historis dan emosional begitu erat dengan Aceh.
Inilah negara yang dijadikan Dr Teungku Hasan Muhammad di Tiro, sang Deklarator Aceh Merdeka, sebagai basis untuk memperjuangkan kemerdekaan Aceh sebelum ia kembali ke haribaan Ilahi pada 3 Juni 2010 di Banda Aceh, setelah GAM berdamai dengan Pemerintah RI.
Tidak terasa sudah hampir dua bulan saya berada di Uppsala, kota terbesar keempat Swedia setelah Stockholm, Gothenburg, dan Malmö. Saya ke sini untuk belajar di Uppsala Universitet sebagai salah satu penerima beasiswa pertukaran pelajar Erasmus+ di bawah Program Expert Sustain.
Beasiswa ini sepenuhnya didanai oleh European Union (EU). Melalui beasiswa inilah, Allah kembali memberikan nikmat-Nya kepada saya, sehingga saya dapat berkunjung ke Meunasah Atjeh.
Berawal dari informasi yang saya peroleh dari seorang warga Aceh yang juga bermukim di Swedia, akhirnya saya mengenal Meunasah Atjeh. Saya ambil waktu pada akhir pekan, berangkat dari Uppsala Central menuju Stockholm. Dengan menempuh lebih kurang satu jam perjalanan menggunakan pendeltåg sejenis kereta api commuter, saya tiba di Stockholm Centralen dan melanjutkan perjalanan menggunakan Stockholms Tunnelbana atau Stockholm Tunnel Rail ke Norsborg, tepatnya Fittja.
Setiba di Fittja, saya disambut dengan hangat oleh warga Aceh lainnya yang telah mengetahui dan menunggu kedatangan saya. Mereka menyapa saya dengan “Assalamualaikum, pue haba?” sehingga membuat pertemuan itu terasa begitu akrab dan nyaman.
Mereka mempersilakan saya masuk ke sebuah rumah yang disebut dengan Meunasah Atjeh di Stockholm. Nama resminya di sini adalah “Svensk-Atjèhnisiska Förening” atau Persatuan Orang Aceh-Swedia.
Kepada saya diceritakan bahwa rumah yang disebut meunasah ini sudah berdiri sejak tahun 1998. Anggotanya kini lebih kurang 100 orang, termasuk para wanita dan anak-anak yang juga lahir di Swedia. Meunasah ini dijadikan sebagai tempat berbagai kegiatan seperti tempat beribadah, berkumpul, sekaligus bermusyawarah.
Bangunan ini juga digunakan untuk menerima tamu yang datang, tempat kegiatan wanita seperti masak-memasak atau sekadar untuk bersilaturahmi pada setiap akhir pekan.
Meunasah ini dibentuk dengan tujuan agar warga Aceh yang sudah lama merantau dan menetap di sini tetap bisa merasakan suasana gampong halamannya yang jauh di sana dengan tetap menjaga adat dan budaya keacehan.
Ketika berada di sini, suasana Aceh yang saya rasakan begitu kental. Meski ada beberapa warga Aceh yang sudah menetap puluhan tahun di Swedia, bahkan anak-anaknya lahir dan besar di sini, tapi mereka fasih berbahasa Aceh walaupun dengan logat dan campuran bahasa Swedia. Namun, mereka tidak mengabaikan bahasa Aceh sebagai salah satu identitas dan warisan endatu (nenek moyang)-nya.
Saya sangat bersyukur dapat bersilaturahmi dengan keluarga baru di sini serta mendengar langsung bagaimana kisah hidup juga perjuangan yang mereka lalui bersama Wali Hasan Tiro semasa hidupnya.
Perjuangan tidak selalu berarti dengan angkat senjata dan berperang. Ada banyak hal yang bisa dilakukan, terlebih oleh kita generasi muda Aceh. Misalnya, terus giat belajar dan membaca, melawan pembodohan dan kebodohan.