Cerpen

Ruang 7

SAYA, mungkin sama seperti kalian yang membaca cerita ini, tidak mengerti persis, mengapa letak Ruang 7 itu mesti di sudut

Editor: bakri

Anehnya, setiap kali saya ke sana, terutama setelah saya mendapat banyak informasi, selalu saya berpapasan dengan Bara yang sudah berbaju kemeja kotak kotak. Dengan celana karet biru tua yang di lutut sebelah kanan ada kayak oli bekas. Tidak lagi berbaju biasanya. Saya semakin bertanya tanya mengenai baju safari yang sudah tidak terlihat lagi.

Lalu ketika sedang mengikuti satu kasus, saya berjumpa dengan lelaki berambut keriting. Karena dalam kasus berikutnya, saya juga berjumpa dengan lelaki ini, ia tidak pernah senyum, saya juga menjadi ingin mencari tahu. Namanya kemudian saya tahu, Naji, seorang Dewan Kota. Setiap kali saya ke toilet, ia mengangguk pelan. Ia selalu menanyakan, "Mengapa tidak toilet sebelah kiri pintu ruang sidang saja?" Setiap kali ia bilang begitu, saya senyum ke arahnya, dan ketika dia berbalik arah, saya selalu bisa melihat pintu ruang yang sedikit terbuka, sehingga daun pintu merah muda yang sudah berjamur meliuk keluar. Bunyi kreeeh kreeh, terdengar dari dalam, semacam suara kipas angin tua yang tak pernah diservis.

Hanya satu kali, ketika keluar, saya berpapasan dengan seorang Pengadil yang cukup saya kenal, keluar dari ruang yang pintunya sedikit terbuka itu. "Bang Depe," kali ini saya yang lebih dulu menyapa. Ia menoleh ke arah saya, seperti tergesa dan terkesan tidak melihat saya. "Nanti ya," jawabnya. Walau tidak mengerti, saya mengangguk.

***

Untuk kasus yang disidangkan pada hari Selasa, tanggal 6 Februari, ada kesan aneh dari awal. Atasan tidak pernah membatasi saya datang ke Gedung Pengadil. Namun tidak hari itu. Sejak pagi pagi, ia sudah menelepon saya dan diminta menghadap. Begitu saya membuka pintu ruangnya, kata kata pertama keluar dari atasan saya, "Kamu tidak usah ke gedung hari ini, ini perintah," katanya, tegas.

Saya justru tergoda untuk datang. Sesampai di sana, saya mendapatkan informasi akan ada pembacaan putusan pengadil untuk seorang staf tata usaha dalam kasus pembelian sebuah kendaraan dinas kepala berharga Rp 11,8 miliar. Saya tidak masuk ke dalamnya. Saya tidak mendengar apa yang dibacakan dan diputuskan. Dari balik daun pintu coklat toilet pinggir, saya hanya mencatat orang orang yang datang. Hanya mencatat. Sebelum orang lain ke luar, saya terlebih dahulu meninggalkan gedung ini.

Saya pulang ke rumah. Bersamaan dengan datangnya seorang pengantar surat dari kantor. Ia mengantar sebuah amplop. Ketika saya buka, ada sejumlah uang, dengan selembar surat di baliknya, berisi pemutusan hubungan kerja.

*Sulaiman Tripa, sastrawan dan dosen di Universitas Syiah Kuala. Tinggal di Banda Aceh.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved