Ini Jawaban Indonesia terhadap Tuntutan Aktivis Aceh

Namun, argumentasi aktivis ASNLF ini dibantah oleh delegasi Indonesia yang diwakili Caka A Awal,Sekretaris Utama dalam Misi Tetap Republik Indonesia

Penulis: Yusmadi | Editor: Yusmadi

2. Tuntutan ASNLF

Organisasi Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) menjadi salah satu pihak yang hadir dalam forum internasional yang digelar di Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia selama 24-25 November 2015 di Room XX, Palais des Nations, Jenewa, Swiss.

Berikut teks terjemahan yang dibacakan oleh Asnawi Ali yang dikutip dari: http://webtv.un.org/search/challenges-of-criminal-justice-8th-session-of-the-forum-on-minority-issues/4631098964001?term=Asnawi Ali#

Terima kasih Bapak Ketua, Bapak-bapak, ibu-ibu sekalian!

Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Forum atas kesempatan ini. Nama saya AsnawiAli, mewakili Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF).

Saya ingin menarik perhatian forum ini pada kaum minoritas dalam sistem peradilan pidana dan tantangannya di Indonesia, khususnya di Aceh.

Acheh terletak di paling ujung utara Pulau Sumatera. Acheh telah berkonflik dengan Indonesia selama lebih dari tiga dekade.

Pada bulan Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia telah menandatangani kesepakatan damai dan sepakat mengakhiri konflik militer sejak tiga puluh tahun lalu.

Dan dalam rentang waktu itu, sekitar 50.000 orang Aceh, termasuk warga sipil, tewas terbunuh.

Tetapi meskipun adanya kesepakatan itu, pihak berwenang tidak menunjukkan keinginan dalam menangani kejahatan masa lalu.

Mereka benar-benar telah gagal dalam mengemban tugas mereka untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan reparasi penuh terhadap puluhan ribu korban konflik.

Kini sepuluh tahun sudah berlalu, Aceh masih dianggap sebagai ancaman serius terhadap integritas kesatuan teritorial Indonesia.

Tantangan terbesar kaum minoritas yang mereka hadapi di Indonesia adalah penegakan hukum dan kekebalan hukum.

Mereka yang bertanggung jawab atas ribuan kasus pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan manusia tidak pernah dituntut atau dihukum.

Korupsi secara luas adalah merupakan suatu dilema lain di Indonesia. Permasalahan yang berkaitan dengan suap di mana-mana. Apakah itu berhubungan dengan polisi, hakim, jaksa.

Masyarakat Indonesia melakukan budaya seperti ini ketika mereka berurusan dengan masalah hukum. Selama korupsi masih marak di kalangan peradilan dan penegak hokum negara, sepanjang itulah aturan hokum tidak akan bias ditegakkan.

Dan tanpa tindakan yang serius untuk meningkatkan penegakan hokum dan sistem peradilan, pelanggaran hak asasi manusia akan tetap merajalela.
Sejak Maret tahun ini, polisi dan tentara Indonesia telah melakukan operasi di Aceh untuk mencari mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan dua tentaranya.

Sejak itu, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan pembunuhan di luar hokum telah terjadi setiap hari.

Sejauh ini enam orang telah tewas dan lebih dari tiga puluh ditangkap. Kebanyakan dari mereka yang tewas itu sebelumnya setelah ditangkap lalu dibunuh dengan tanpa proses pengadilan.

Bapak Ketua yang terhormat!

Indonesia merupakan pihak negara yang menanda tangani Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal 6ayat 1 dari ICCPR menyatakan: "Setiap manusia memiliki hak untuk hidup. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak boleh dengan sewenang-wenang dirampas hidupnya".

Oleh karena itu, kami dari Acheh- Sumatra National Liberation Front (ASNLF) dengan penuh hormat merekomendasikan PBB, sesuai dengan prosedur dan mekanisme, untuk memeriksa secara independen insiden yang berhubungan dengan kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian atau militer dan akuntabilitasatas kejahatan mereka di Aceh. Terima kasih. (*)

Halaman
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved