Prof Ali Mustafa Yaqub, Pakar Hadis Sang Pemersatu Umat Islam
KH Ali Yaqub turut aktif menyatukan kesalahan persepsi antara kelompok-kelompok Islam yang telah mencapai pada titik memprihatinkan.
3. Pandangan Terkait Wahabi dan NU
Perbedaan antara Wahabi dan NU yang selama ini selalu dibesar-besarkan tak luput dari pengamatannya. Ia menilai bahwa selama ini ada kesalahan informasi tentang Wahabi dan NU. Hal ini berawal dari banyak orang Wahabi yang mendengar informasi tentang NU tetapi bukan dari karya tulis ulama NU, khususnya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari.
Pun demikian sebaliknya, banyak orang NU yang memperoleh informasi tentang Wahabi tidak dari sumber-sumber asli karya tulis ulama-ulama yang menjadi rujukan paham Wahabi yang justru menjadi ketimpangan di antara dua kelompok itu dalam memahami satu sama lainnya.
“Penilaian seperti ini tentulah tidak objektif, apalagi ada faktor eksternal, seperti yang tertulis dalam Protokol Zionisme No 7 bahwa kaum Zionis akan berupaya untuk menciptakan konflik dan kekacauan di seluruh dunia dengan mengobarkan permusuhan dan pertentangan,” kata KH. Ali Yaqub dalam sebuah artikelnya berjudul ‘Titik Temu Wahabi-NU’ yang dimuat dalam Harian Republika edisi 14 Februari 2015.
Masih pada artikel yang sama, KH. Ali Yaqub mengemukakan bahwa untuk menilai kedua kelompok itu haruslah membaca kitab-kitab yang menjadi rujukan utama mereka, seperti kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan termasuk kitab-kitab karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang kepadanya paham Wahabi itu dinisbatkan.
Sementara untuk mengetahui paham keagamaan Nahdlatul Ulama, KH. Ali Yaqub mengemukakan bahwa seseorang harus membaca, khususnya kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari yang mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
KH. Ali Yaqub mengatakan, “Kami telah mencoba menelaah kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan membandingkannya dengan kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah dan lain-lain. Kemudian, kami berkesimpulan bahwa lebih dari 20 poin persamaan ajaran antara Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan imam Ibnu Taymiyyah.”
Dalam kesempatan terpisah, KH. Ali Yaqub berpendapat bahwa kesamaan ajaran Wahabi dan NU itu justru dalam hal-hal yang selama ini dikesankan sebagai sesuatu yang bertolak belakang antara Wahabi dan NU. Orang yang tidak mengetahui ajaran Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, maka ia tentu akan terkejut.
Di antara titik-titik temu antara ajaran Wahabi dan NU yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan itu dirangkum oleh KH. Ali Yaqub menjadi tiga point besar, sebagai berikut;
Pertama, sumber syariat Islam, baik menurut Wahabi maupun NU, adalah Al-Quran, hadis, ijma, dan qiyas. Hadis yang dipakai oleh keduanya adalah hadis yang shahih, kendati hadis itu hadis ahad, bukan mutawatir. Karenanya, baik Wahabi maupun NU, memercayai adanya siksa kubur, syafaat Nabi dan orang saleh pada hari kiamat nanti, dan lain sebagainya karena hal itu terdapat dalam hadis-hadis sahih.
Kedua, sebagai konsekuensi menjadikan ijma sebagai sumber syariat Islam, baik Wahabi maupun NU, shalat Jumat dengan dua kali azan dan shalat Tarawih 20 rakaat. Selama tinggal di Arab Saudi (1976-1985), KH. Ali Yaqub tidak menemukan shalat Jumat di masjid-masjid Saudi kecuali azannya dua kali, dan beliau tidak menemukan shalat Tarawih di Saudi di luar 20 rakaat.
Ketika beliau ingin mengetahui pendapat ulama Saudi tentang pendapat yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu sama dengan shalat Zhuhur lima rakaat, para ulama Saudi justru menyerang balik KH. Ali Yaqub, katanya, “Bagaimana mungkin shalat Tarawih 20 rakaat itu tidak benar, sementara dalam hadis yang sahih para sahabat shalat Tarawih 20 rakaat dan tidak ada satu pun yang membantah hal itu.” Inilah ijma para sahabat.
Ketiga, dalam beragama, baik Wahabi maupun NU, menganut satu mazhab dari mazhab fikih yang empat. Wahabi bermazhab Hanbali dan NU bermazhab salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Ali Yaqub mengakui, memang ada perbedaan antara Wahabi dan NU atau antara Imam Ibnu Taymiyyah dan Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Namun, perbedaan itu sifatnya tidak prinsip dan hal itu sudah terjadi sebelum lahirnya Wahabi dan NU.
Dalam praktiknya, KH. Ali Yaqub berpandangan bahwa baik Wahabi maupun NU, tidak pernah mempermasalahkan keduanya. Banyak anak NU yang belajar di Saudi yang notabenenya adalah Wahabi. Bahkan, banyak jamaah haji warga NU yang shalat di belakang imam yang Wahabi, dan ternyata hal itu tidak menjadi masalah.