KUPI BEUNGOH

Catatan untuk Dakwah Salafy, Hendaklah Lebih Toleran!

Silahkan beramal dengan keyakinan sendiri, namun kurangilah kebiasaan menuduh bid’ah pada amalan umat Islam yang lain, karena sudah pasti hal semacam

Editor: Amirullah
FACEBOOK
Teuku Zulkhairi 

Kita juga mesti bersyukur, bahwa kalangan Salafy termasuk dalam barisan umat Islam yang paling terdepan dalam mengcounter hadis-hadis palsu yang banyak diproduksi kalangan Syi’ah, seperti yang berbunyi “Aku adalah Kota Ilmu, sedangkan ‘Ali adalah Pintunya. Maka barangsiapa yang menginginkan Ilmu, hendaknya Dia mendatangi dari Pintunya””, dimana hadis ini dianggap palsu oleh Imam Bukhari, Abu Zur’ah, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni, Ibnul An-Nawawi dan sebagainya.

Problem Awal Dakwah Salafy

Namun, yang kita sayangkan, pada sebagian kasus yang banyak kita jumpai, kalangan Salafy justru terjebak menjalankan dakwah dengan metode tabdi’ dan menuduh syirik di tengah-tengah umat Islam pada perkara yang pada dasarnya telah dipagari oleh kekayaan literatur fiqh Islam dengan segala dinamika perbedaan pendapat para ulama di dalamnya.

Mereka menyamakan saja semuanya, antara praktek-praktek syirik, khurafat dan tahayul, serta bid’ah yang sama sekal tidak memiliki dasar dalam landasan hukum Islam dengan perkara-perkara yang masih masuk dalam pagar fikh yang kaya dan luas.

Di sinilah awal masalah yang dimunculkan kalangan Salafy di tengah-tengah umat Islam (di samping beberapa persoalan lainnya seperti metode penafsiran ayat dimana sebagian mereka lebih memahami ayat secara zhahiri (tekstual), sesuatu yang direspons tegas oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh beberapa waktu lalu yang tidak kita bahas disini).

Setelah saya mencoba menelusuri akar permasalahan di atas, salah satu persoalan mendasar terdapat di Syaikh Nashiruddin Al-Bani. Al-Bani dianggap sebagai paling memiliki legalitas dan kapasitas untuk dan mentakhrij dan menyeleksi hadis-hadis yang diriwayatkan para Muhaddis, termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Artinya, secara tidak langsung ada pandangan di kalangan Salafy bahwa Nashiruddin Al-Bani lebih hebat dari Imam Bukhari dan Muslim, apalagi dengan para perawi lain seperti Abu Daud, Ibnu Hibban dan lain-lain.

Dengan pandangan seperti ini, harus diakui kalangan Salafy telah memposisikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pembawa “Mazhab Baru” di luar mazhab empat dalam segala pemahamannya. Namun celakanya, hanya Mazhab Nashiruddin Al-Bani ini saja yang dianggap sesuai sunnah, sementara yang lain adalah bid’ah. Sungguh ini fitnah besar di tengah umat Islam abad ini, karena pemahaman seperti akan begitu sulit dicarikan titik temu untuk tasamuh atau toleran dalam perbedaan.

Ketika misalnya antar mazhab fikh yang empat terjadi perbedaan interpretasi (penafsiran) matan hadis, maka proses tasamuh sangat mudah diwujudkan dan terbukti telah mampu diwujudkan, namun ini akan berebda dengan “Mazhab Al-Bani”, karena titik masalahnya ada di landasan hukum (dalam hal ini hadis) langsung.

Kalau satu hadis Nabi sudah ditakhrij oleh Al-Bani, maka pengamalan umat Islam atas hadis ini akan dianggap bukan sunnah, atau bahkan bid’ah. Padahal, beberapa mazhab Fiqh misalnya menggunakan hadis tersebut sebagai landasan hukum.

Sebagai contoh saya katakan, doa berbuka puasa, terdapat hadis bahwa doa berbuka itu bunyinya;” اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت”, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud.

Sementara itu terdapat hadis lain yang bunyinya lain lagi, yaitu: “ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ” , sebagaimana diriwatkan juga oleh beberapa perawi, termasuk Abu Daud.

Nah, karena doa pertama di atas sudah ditakhrij oleh Al-Bani dan doa kedua disahihkan, lalu kalangan Salafy menyimpulkan doa pertama tersebut sebagai bukan Sunnah, yang artinya doa pertama itu adalah bid’ah. Maka jangan heran jika tuduhan bid’ah atau keluar dari sunnah begitu mudah keluar dari lisan dan tulisan mereka.

Padahal, para ulama besar bidang fikh telah menunjukkan kebijaksanaannya. Salah satu ulama kontemporer, Prof Wahbah Zuhaili yang seorang pengikut Mazhab Syafi’i misalnya, dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu  bab “Puasa” beliau mengambil langkah bijak dengan menggabungkan kedua doa di atas menjadi doa berbuka.

Tapi barangkali kalangan Salafy akan sulit melakukan hal seperti ini oleh karena bagi mereka standar kebenaran dalam hal ini hanyalah pada Syaikh Nashiruddin Al-Bani.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved