Cerpen
Damaran
Sungai Damaran baru saja tenang setelah marah meluap-luap. Dua hari lalu airnya naik hingga beberapa meter. Semenjak
Suara deras aliran sungai Damaran terdengar menggebu-gebu. Sungai pun kembali meluap. Air yang biasa tenang itu tengah berang. Jembatan penghubung dua desa itu tampak terendam. Air kuning kental dari kaki gunung disertai sampah dan bongkahan kayu menjadi penyebab utama meluapnya air. Dulu, sebelum hutan dirambah,hujan adalah berkah. Kini, sejak hutan gundul, hujan berbalik menjadi petakabagi warga disekitar kaki gunung itu.
“Peluk Ibu yang kuat,” bisik Sanimah pelan. Genali tak menjawab. Tapi Sanimah dapat merasakan anak lelakinya itu merapatkan gengaman kecil di pundaknya.
Tali pegangan jembatan masih menyisakan lumpur. Jembatan dari kayu yang sudah rapuh dan berlubang itu masih tergenang air. Sanimah menguatkan sekali lagi gendongannya, memastikan Genali telah kuat dalam dekapannya. Sanimah melangkah perlahan. Ia tapaki dengan hati-hati jembatan itu. Sanimah telah sampai di tengah jalan. Ia mengedarkan pandangan kesekeliling sungai. Ia tidak menyadari bila sebuah bongkahan kayu tengah tertuju padanya. Sanimah terkejut ketika mendapati kayu besar itu menerjangnya. Kakinya terperosok diantara papan jembatan yang telah rapuh. Seketika ia hilang pegangan dan terjatuh ke sungai Damaran. Sesaat ia masih dapat merasakan Genali menggeliat keras di dalam gendongannya.
***
Hari ini Gempar tersenyum lebih cerah, seakan sinar mentari berpindah ke wajahnya yang legam. Kali ini ia mendapat banyak buah jernang. Karung tempat buah yang telah disediakannya kini telah penuh terisi. Sekelebat ia telah dapat membayangkan segepok rupiah yang akan didapat dari penjualan buah itu. Usai bersih-bersih dan membereskan semua alat, Gempar dan Ismail bergegas pulang. Terlintas jelas dikepalanya senyum Sanimah dan Genali menyambutnya di depan pintu rumah. Di perjalanan pulang, dari kejauhan Gempar melihat dengan jelas iring-iringan orang kampung berjalan di atas pematang sawah tengah menggotong dua tandu sambil menyebut asma Allah serta membaca salawat Nabi.
Tidak ada firasat apapun di hati Gempar, mengapa sepagi ini ada iring-iringan orang berjalan di tengah sawah sambil bersalawat. Gempar hanya berpikir bagaimana agar segera tiba di rumah, memeluk Genali buah hati penyejuk hati dan menuntasrindu. “Ada kejadian yang pilu di pagi Jumat ini. Ibu dan anaknya terseret arus sungai kemarin sore,” kata seseorang yang berdiri di sepanjang jalan kampung.
“Siapa ibu dan anak itu?” Gempar bertanya pada kerumunan orang-orang yang dilalui iring-iringan itu. “Tidak tahu!”
“Amat menemukan mereka di dekat batu besar di hilir sungai,” jawab salah seorang dari mereka.
Berselang sepuluh rumah menjelang tiba di halaman rumahnya, Gempar disuguhi pemandangan yang tak biasa. Kali ini ia berpikir keras. “Mengapa iringan orang-orang di tengah persawahan tadi menuju ke rumahku?”
Sembari terus berpikir Gempar mempercepat langkah kakinya, sekarung buah jernang yang sedari tadi dipikulnya terhempas begitu saja. Suasana pagi yang masih berkabut dan dingin udara tak meredakan kegundahan Gempar yang terus mengalirkan keringat dingin dari dahi dan pelipisnya.
Gempar memperlebar langkah kaki, menyusuri jalan setapak yang sempit itu. Ingatannya hanya tertuju pada Sanimah dan Genali.
“Oh anakku!” desahnya
Gempar menatap rumahnya dari kejauhan, tangisnya pecah tak tertahan. Kedua tangannya langsung mengatup ke wajah. Orang-orang telah banyak berkerumun di halaman.Ingin sekali ia segera sampai pada kerumunan itu, tetapi Gempar sudah tak mampu lagi mengangkat kaki. Pertahanannya rubuh, dalam isak haru ia seperti ingin berbicara banyak. Tapi, kalimat-kalimat yang disebutkannya menjadi tidak jelas. Bibirnya bergetar, dalam senyap terdengar Gempar menyebut-nyebut nama istri dan anaknya.
* Vera Hastuti, guru SMAN 1 Takengon