Opini
Dosen ‘Killer’ dan Demo Mahasiswa
DUNIA kampus adalah demo. Tanda protes atau berdemo karena simpati yang santun
Penulis: Andrei Bhayu | Editor: bakri
Oleh Yuswar Yunus
DUNIA kampus adalah demo. Tanda protes atau berdemo karena simpati yang santun. Bagi masyarakat Bugis (Makassar), tiada hari tanpa demo. Seakan demo menjadi ‘santapan pagi”. Namun bagi masyarakat Aceh, letusan senjata saat Aceh tidak kondusif dulu, menjadi santapan rohani. Memang Aceh sering didera konflik sejak dulu hingga masa damai 2005. Barangkali, bagi Aceh urusan demo tidak beda seperti uang recehan, jika dibanding dengan perang yang pernah berkecamuk tempo doeloe.
Aceh menuntut keadilan kepada pemerintah pusat, maka demo bagi Aceh terlihat tidak tanggung-tanggung, angkat senjata. Perang, merupakan demo besar dan taruhan nyawa bagi masyarakat Tanah Rencong ini. Diekpresikan sebagai perang atau pemberontakan bersenjata. Perang karena ketidakpuasan, sebagai akibat kebijakan pusat yang dinilai salah dan sentralistik, sehingga pembangunan daerah terabaikan.
Seni berdemo di kampus, ibarat piring dengan sendoknya. Jika tidak beradu, maka filosofi makanannya ibarat kuah tidak bergaram. Dunia kampus indah, jika diiringi dengan demo mahasiswa. Bila perlu, saat berdemo para mahasiswa diiringi dengan musik India. “Terajana..., terajana... Ini lagunya, lagu India. Dunia kampus tak perlu berdemo. Berdemo, bila ada perlunya...”
Boleh jadi, jikapun terjadi demo di kampus, ada sesuatu yang diperjuangkan. Namun, perlu juga berdemo sebagai tanda ketidakpuasan atau tuntutan agar mereka yang berkuasa di struktural kampus “tahu diri” bahwa kekuasaan hanya sementara dan harus mampu diterjemahkan sebagai “pelayanan” kepada mahasiswa, terutama untuk perubahan institusinya. Pengayoman kepada anak didik diperlukan, agar mereka tau etika, perlu santun agar mereka sopan dengan gurunya. Sebaliknya anak didik juga perlu menghargai gurunya yang produktif dengan ilmunya, ibarat menghargai orang tua yang mendidik dan membesarkannya.
Jika kita ingat film “Kampus Biru” menceritakan bagaimana “killer”-nya sang dosen wanita yang suka sensasi dengan mahasiswanya. Bahkan antarsesama dosen pun sering menunjukkan sikap tidak bersahabat. Ternyata, setelah dilihat background-nya, sang ibu dosen mengalami konflikasi jiwa (sensitive) sebagai akibat dari statusnya yang masih sendiri alias belum punya pasangan hidup, sehingga mempengaruhi nyali sensitivitasnya dan suka bersitegang dengan siapa pun.
Begitu halnya, beberapa waktu yang lalu di kampus, di satu perguruan tinggi di Medan, Sumatera Utara, seorang mahasiswa membunuh ibu dosennya, sebagai akibat sang ibu tidak pernah menghargai mahasiswanya dan sering dipojokkan dihadapan mahasiswa lainnya. Akhirnya, sang mahasiswa bertindak nekat, ia membunuh dosennya. Ini tentu bisa menjadi pelajaran berharga untuk dosen lainnya.
Sangat internal
Hakikatnya tidak perlu bersitegang antara guru dan murid di kampus. Kondisinya sangat internal dan tidak perlu dibesar-besarkan sehingga menjadi opini publik. Sebesar apapun persoalan kampus, ia hanya persoalan murid dan guru (baca; persoalan orang tua dan anaknya) serta tidak perlu diketahui oleh khalayak ramai, karenanya perlu: Pertama, sayang sekali, jika terjadi perang antara guru-muridnya. Siapapun pelakunya (hamba Allah) adalah sebagai manusia biasa (status dosen dan status mahasiswa), tentu tidak perlu bersifat angkuh dan mahasiswa terjerat dalam penggunaan teknologi yang bersikap berlebihan, iseng dan ceroboh kepada siapapun.
Kedua, mari kita menjadi pencipta dan pemilih teknologi yang reflektif, hati-hati dan rendah hati sebagaimana orang tua atau guru yang perlu dihargai serta dihormati oleh anak atau muridnya. Jika ibu guru (maaf) kencing berjongkok, maka anakpun pasti kecing dengan cara berjongkok. Jongkok atau berdiri, tergantung siapa awal yang memulai. Namun seorang guru juga dituntut untuk memiliki jiwa mengayomi murid-muridnya (jangan membuka front, hidup ini saling membutuhkan).
Ketiga, Kong Hu-Cu seorang filosof besar Cina. Dialah orang pertama pengembang sistem memadukan alam pikiran dan kepercayaan orang Cina yang paling mendasar. Filosofinya menyangkut moralitas orang perorang dan konsepsi suatu pemerintahan (kekuasaan) tentang cara-cara melayani rakyat dan memerintahnya lewat tingkah laku teladan- telah menyerap menjadi darah daging kehidupan dan kebudayaan orang Cina selama lebih dari dua ribu tahun. Lebih dari itu, juga berpengaruh terhadap sebahagian penduduk dunia lainnya.
Keempat, bagi Imam Al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari “kerusakan yang menimpa para ulamanya”. Karena itu, reformasi yang dilakukan Al-Ghazali dimulai dengan memperbaiki para ulama. Dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama pun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan, terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin maupun yang dipimpinnya.
Kelima, Laozi (filsuf Tiongkok) sebagaimana Albert Einstein, ia juga melahirkan teori relativitas. Katanya, “ada melahirkan tiada” sejauh manapun perjalanan, ditentukan oleh langkah pertama. Sebesar apapun tanaman dimulai dari kecil. Ada benda, tapi tidak ada bentuk. Dilihat tetapi tidak tampak, didengar tetapi tidak kedengaran, diraba tatapi tidak terasa. Teori tersebut tetap melahirkan satu, satu melahirkan dua, dua melahirkan tiga dan tiga melahirkan sesuatu. Dalam hal ini, satu berarti ada. Bagaimana dengan dua, tiga dan seterusnya?
Keenam, Teori Laozi tersebut, harus bisa dijawab oleh mereka yang bersengketa, akibat ego sang guru dan merasa punya kekuasaan, namun sebaliknya murid juga janganlah suka iseng yang dapat menyakiti hati gurunya, lalu berdemo. Boleh jadi, hal ini sebagai akibat semakin derasnya arus globalisasi, terutama arus teknologi komunikasi dan informasi selalu menghantui kehidupan masyarakat Aceh (apa lagi iseng lewat facebook). Untuk itulah diperlukan filter yang kuat dalam menyaring hal-hal negatif tersebut melalui bidang pendidikan, agama, dan adat istiadat.
Ketujuh, kepada para dosen atau guru, bahwa untuk melestarikan budaya Aceh di berbagai tingkat, sekaligus dapat melahirkan ilmuan-ilmuan baru, terutama yang berasal dari luar. Harus menyadari benar bahwa walau berderet ketidakmaslahatan struktural regional Aceh yang seharusnya deraian air mata yang harus kita tampung, sebagai akibat komflik masa lalu, maka sekarang menjadi tugas kita semua untuk membina mahasiswa (jangan dikonfrontir dan jangan memperlakukan mahasiswa sebagai musuh, tetapi harus dijadikan sebagai sahabat).
Kita perlu mengagungkan kekayaan budaya, ketidakbenaran kebudayaan yang merasuk lewat informasi teknologi yang membutuhkan seleksi islami, adat dan budaya Aceh hingga sektor pendidikan dan agama perlu berperan untuk mengantisipasinya, serta ketidak benaran sosio ekonomi Aceh yang memohon, agar kita untuk berjihat sesuai dengan realitas umat yang perlu diayomi, terutama kepada para anak didik (mahasiswa dan siswa).