Citizen Reporter
Bekerja Sambil Kuliah di Australia
INI semester terakhir saya menimba ilmu di Australia. Ada banyak pengalaman yang telah saya peroleh
OLEH SUKARMIDA, Guru SMAN Unggul Labuhanhaji Raya dan sedang menempuh Program Master di University of New South Wales, melaporkan dari Sydney, Australia
INI semester terakhir saya menimba ilmu di Australia. Ada banyak pengalaman yang telah saya peroleh, baik dalam hal akademik maupun nonakademik. Ada yang mengatakan bahwa pengalaman adalah salah satu jenis sedekah yang bisa kita bagikan kepada orang lain. Karenanya, kali ini saya ingin berbagi tentang pengalaman saya bekerja sambil kuliah di salah satu kota termahal di dunia versi Worldwide Cost of Living Survey 2014, yaitu Sydney, Australia.
Saya percaya bahwa ilmu tidaklah terbatas pada apa yang saya dapatkan di ruang kuliah. Ketika mendapat beasiswa untuk belajar di luar negeri, saya mewujudkan rasa syukur saya dengan cara mempergunakan kesempatan hidup di Australia semaksimal mungkin untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya. Karena itu, selain mengejar target akademik, saya juga berupaya menggali pengalaman di luar dunia akademik. Salah satunya dengan bekerja di luar jam kuliah.
Untungnya, upaya saya itu bersambut baik. Pertama, Australia adalah salah satu negara yang mengizinkan mahasiswa internasional untuk bekerja sambil kuliah. Kedua, aturan dari beasiswa yang saya peroleh (Australia Awards Scholarship) juga membolehkan awardees untuk bekerja sesuai ketentuan visa. Jadi, saya tak perlu bekerja secara diam-diam (cheating). Terkait batasan jam kerja, pemegang visa pelajar dibolehkan bekerja maksimal 20 jam/minggu selama masa aktif semester dan tanpa batasan waktu selama libur semester.
Untuk memastikan bahwa pekerja dibayar sesuai upah minimum (AUD16.88/jam), sangat disarankan agar apa pun jenis pekerjaannya, upah dibayarkan melalui rekening pekerja, bukan dibayar langsung (cash on hand). Dengan cara ini pula Pemerintah Australia dapat memastikan bahwa pelajar tidak bekerja melebihi aturan visa.
Ketiga, saat mencari pekerjaan yang sesuai aturan visa, ada teman menawarkan saya bekerja sebagai petugas kebersihan (cleaning service) di kampus saya. Jenis pekerjaan ini tergolong pekerjaan paruh waktu (part time) di mana saya diberikan jam kerja lima hari per minggu (Senin-Jumat), dari pukul 13.00 hingga pukul 16.00 (tiga jam per hari), dan mendapatkan upah sebanyak jam kerja (15 jam per minggu).
Sebagian mahasiswa mungkin lebih memilih untuk fokus kuliah. Namun, saya merasakan sekurang-kurangnya ada empat manfaat dari bekerja sambil kuliah. Pertama, waktu luang saya lebih produktif. Di jurusan saya belajar, kebanyakan mata kuliahnya tidak ada ujian akhir (sitting exams). Rata-rata tugas kuliah berupa tulisan ilmiah atau ulasan kritis yang bisa diselesaikan kapan saja, di mana saja, dan dikumpulkan melalui website sesuai tenggat waktu yang ditetapkan di awal semester. Selain itu, jumlah beban kuliah per semester hanya 24 unit of credit atau tiga-empat mata kuliah, lebih sedikit dibandingkan saat saya kuliah S1 dulu. Setiap minggu saya hanya memiliki delapan jam kuliah tatap muka dan kebanyakan jadwalnya di sore dan malam hari. Sehingga, banyak waktu luang yang saya manfaatkan untuk bekerja.
Kedua, saya lebih lihai mengelola waktu (time management). Di saat rutinitas saya hanya berkisar antara kampus-pustaka-rumah, saya cenderung menunda-nunda menyelesaikan tugas karena saya merasa masih memiliki banyak waktu. Namun, sejak bekerja, aktivitas saya jadi lebih padat. Jadi, saya harus belajar menyiasati waktu dengan baik, menyeimbangkan antara belajar, bekerja, dan aktivitas pribadi lainnya.
Ketiga, berkesempatan melatih kemampuan berkomunikasi di luar iklim akademik. Lingkungan kerja membantu saya memperkaya kosakata bahasa Inggris yang umum digunakan sehari-hari, termasuk mengenali kebiasaan Australian yang senang menyingkat kata seperti ‘maccas’ untuk McDonalds atau ‘arvo’ untuk afternoon. Tak hanya itu, rekan kerja biasanya berbicara sangat cepat (lebih natural) dibanding dosen dan staf akademik di kampus, sehingga sangat membantu peningkatan kemampuan berbahasa Inggris, terutama keahlian mendengar.
Keempat, bekerja menambah wawasan saya tentang bagaimana pihak manajemen memosisikan pekerja. Di tempat saya bekerja, saya mendapat bayaran yang pantas. Meski saya diperkenankan libur saat public holiday, saya tetap mendapatkan bayaran selayaknya di hari kerja. Demikianlah cara mereka menjadikan hari libur sebagai hari bahagia, bukan hanya bagi yang bekerja penuh waktu, tapi juga bagi saya yang part-timer. Hal ini sangat berbeda dengan pengalaman saya di Aceh, di mana non-PNS (guru kontrak) harus ‘galau secara finansial’ saat libur.
Selain itu, menjadi part-timer bukan berarti saya tidak punya hak untuk mendapat cuti. Setiap bulannya, pekerja mendapatkan jatah cuti sekitar lima jam yang disebut dengan recreational leave. Artinya, jika saya sudah bekerja tiga bulan, saya diberikan jatah cuti 15 jam. Saya diperbolehkan libur selama lima hari, namun tetap mendapatkan upah seperti biasa. Jika saya tak mengambil hak cuti tersebut, jam cuti akan diuangkan. Dengan cara inilah manajemen menghargai para pekerja. Mereka meyakini bahwa ketika pekerja suntuk dan kurang liburan, maka produktivitas kerjanya pun akan berkurang.
* Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskahnya, termasuk foto dan identitas Anda ke email redaksi@serambinews.com