Opini
Mendalami Potensi Perikanan Laut Aceh
PERINGATAN Hari Nusantara tahun lalu, tepatnya pada 13 Desember 2015, yang puncaknya dipusatkan
Oleh Syahrul Purnawan
PERINGATAN Hari Nusantara tahun lalu, tepatnya pada 13 Desember 2015, yang puncaknya dipusatkan di Pelabuhan Lampulo Banda Aceh, setidaknya telah membuka banyak mata untuk lebih melek terhadap kondisi dan potensi bahari yang dimiliki Indonesia, khususnya Aceh. Sejalan dengan semangat Nasional menjadikan negara indonesia sebagai poros maritim dunia, Aceh juga mendeklarasikan diri sebagai poros maritim bagian barat Indonesia. Ini bukan tanpa alasan. Setidaknya perairan Aceh bersinggungan erat dengan jalur padat pelayaran internasional yang melintasi Selat Malaka.
Sebagai provinsi paling barat Indonesia, Aceh memiliki kekayaan laut yang melimpah, baik sumber daya alam hayati atau pun non-hayati. Mari kita fokuskan dulu pada kekayaan sumber daya hayati lautnya. Aceh dikelilingi oleh Selat Malaka di sebelah Timur-Tenggara, lalu laut Andaman di Utara dan Samudera Hindia di Barat. Kondisi ini menjadikan hidro-oseanografi Aceh cukup beragam dan dinamis. Di samping itu, laut Aceh juga menyediakan berbagai habitat utama bagi ikan, seperti kawasan terumbu karang dan padang lamun yang tersebar di berbagai penjuru perairannya.
Berdasarkan gambaran kondisi tersebut, kita harus mengetahui dengan baik besarnya potensi kekayaan hayati laut Aceh. Tidak seperti daratan, hampir seluruh kekayaan alam laut tertutupi oleh permukaan air laut dan menjadikannya misteri yang menunggu untuk dipecahkan. Dibutuhkan usaha dan ketekunan agar dapat mengenal laut lebih dalam. Sebut saja pawang laot Aceh yang piawai membaca lokasi kumpulan ikan (fish schooling). Butuh waktu lama bagi seorang nelayan untuk menjadi pawang laot agar dapat membaca tanda-tanda alam yang dapat mendekatkan mereka kepada kumpulan ikan.
Biasanya tanda-tanda tersebut dapat berupa adanya spot yang memiliki warna laut yang berbeda, riak-riak kecil pada permukaan, adanya kawanan burung yang terbang di atas permukaan laut, benda-benda yang mengapung dan hanyut di atas permukaan laut, dan tanda-tanda lainnya. Ditambah adanya pemahaman lokal yang mereka dapatkan secara turun-temurun tentang kondisi laut di sekitar wilayah mereka. Sehingga dengan pengalamannya nelayan mengetahui potensi ikan di laut yang biasa mereka arungi, mulai dari jenis ikan, lokasi dan musim penangkapan.
Habitat mendukung
Dalam pandangan ilmu pengetahuan, setiap makhluk hidup menempati daerah yang sesuai dengan nilai toleransi masing-masing jenis. Tentunya ikan juga akan cenderung memilih dan berada pada habitat yang mendukung kelangsungan hidup mereka dalam berbagai tujuan. Ikan akan berada di daerah-daerah yang menyediakan fungsi sebagai tempat berlindung (shelter), lokasi pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan lokasi mencari makan (feeding ground).
Namun yang perlu diigat adalah ikan di laut juga bersifat free willing, bebas untuk bergerak kemana saja tanpa dapat dibatasi. Kita ambil contoh ikan tuna yang merupakan ikan pelagis penting, yang memiliki nilai ekonomis tinggi di pasaran dunia. Ikan tersebut merupakan jenis ikan perenang cepat dan memiliki pola ruaya (migratory) yang dapat melintasi samudera. Kondisi ini menjadikan ikan dapat tersebar di mana saja dan pada kedalaman yang berbeda-beda di lautan yang sangat luas. Muncul ungkapan yang rasanya tepat bagi nelayan kita, bahwa nelayan lebih banyak menghabiskan waktu di laut untuk mencari ikan, daripada menangkap ikan.
Pascatsunami 2004, sejumlah nelayan Aceh mendapat bantuan kapal dan peralatan pendukung penangkapan, seperti fishfinder. Fishfinder merupakan keluarga Sonar (sound navigation & ranging) yang bekerja berdasarkan prinsip perambatan (propagasi) gelombang akustik di bawah air. Alat ini bekerja berdasarkan prinsip pantulan (echo) yang dihasilkan oleh objek yang berada di kolom perairan yang terkena gelombang akustik tersebut. Sehingga jika ada ikan yang berada di sekitar kapal nelayan, maka fishfinder akan menampilkan informasi keberadaan ikan tersebut pada bagian display.
Informasi yang diberikan oleh fishfinder berupa kedalaman ikan, jumlah dan biomassa ikan. Informasi ini membantu nelayan untuk menyimpulkan apakah kondisi di perairan tersebut layak tangkap atau tidak. Sebagai gambaran, pengoperasian alat tangkap mini purse saine membutuhkan waktu sekitar 30 menit hingga 2 jam dari proses setting hingga hauling. Bisa dibayangkan kerugian yang diperoleh oleh nelayan jika hasil tangkapan yang diperoleh ternyata tidak sebanding dengan upaya yang telah mereka keluarkan.
Lebih lanjut, pemerintah dapat menyediakan informasi bagi nelayan mengenai lokasi yang berpotensi menjadi kantung-kantung ikan (fishing ground). Hal ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu survei underwater acoustic dan remote sensing. Remote sensing menggunakan data Citra Satelit untuk mencari informasi sebaran suhu permukaan laut (SST), serta sebaran kandungan klorofil. Klorofil di laut dihasilkan dari fitoplankton yang bertindak sebagai produsen primer pada rantai makanan di laut.
Sementara suhu merupakan satu faktor pembatas utama keberadaan ikan di laut, di samping informasi sebaran suhu permukaan laut dapat digunakan untuk melihat potensi terjadinya upwelling atau pengangkatan massa air dari lapisan yang lebih dalam menuju permukaan laut. Peristiwa upwelling turut mengangkat zat hara yang mengendap di kolom perairan (kedalaman sekitar 200 meter) ke permukaan, sehingga bisa dimanfaatkan oleh fitoplankton dan menjadikan wilayah tersebut memiliki produktivitas primer yang cukup tinggi, yang dapat diarahkan menjadi lokasi fishing ground.
Jika remote sensing menggunakan pendekatan terhadap lokasi potensi keberadaan ikan, teknologi akustik bawah air menggunakan scientific echosounder dapat dengan presisi mengungkap keberadaan ikan di bawah air. Perbedaan terbesar antara fishfinder yang dimiliki nelayan dan scientific echosounder adalah kemampuan kuantifikasi data yang tidak dimiliki oleh fishfinder. Portable fishfinder nelayan juga hanya terbatas untuk gambaran keberadaan ikan serta memiliki akurasi dan presisi yang rendah.
Riset dan survei
Penggunaan scientific echosounder membantu mendapatkan kedalaman ikan, kecepatan renang ikan, biomassa ikan, bahkan dapat digunakan sebagai penduga jenis ikan pada suatu kawasan perairan. Namun yang menjadi kendala di sini adalah sangat terbatasnya alat tersebut. Satu lembaga yang memiliki alat tersebut adalah Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang dioperasikan pada Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Untuk melakukan riset dan survei akustik setidaknya dibutuhkan biaya Rp 200 juta per hari layar, di mana kapal tersebut diberangkatkan dari Jakarta.
Tentu biaya yang akan dikeluarkan untuk survei pemetaan potensi perikanan laut Aceh akan cukup besar jika kegiatan tersebut dilakukan. Hal tersebut menjadi sangat penting mengingat kita masih meraba-raba besaran potensi perikanan laut yang kita miliki di Aceh. Selama ini kita masih sangat mengandalkan metode pencatatan jumlah ikan yang didaratkan oleh nelayan sebagai penduga potensi ikan yang ada di laut. Padahal terdapat bias yang cukup besar dalam pelaksanaannya. Proses pencatatan jumlah ikan yang berhasil ditangkap oleh nelayan Aceh tidak mengikutsertakan lokasi penangkapan, sehingga data sebaran ikan tidak dapat diketahui dengan pasti. Terlebih tidak semua nelayan melaporkan hasil tangkapannya kepada instansi berwenang.
Jumlah tangkapan yang kurang, tidak berarti jumlah ikan di laut sudah sedikit, karena butuh proses yang kompleks agar terjadi interaksi antara ikan dan alat tangkap. Sebaliknya banyaknya ikan yang tertangkap juga tidak berarti jumlah ikan yang tersedia di lautan masih cukup besar, bisa saja terjadi aktivitas penangkapan besar-besaran dan berlebihan yang tentunya dapat memicu terjadinya over fishing.