Opini
Perempuan Aceh dalam Perang ‘Fi Sabilillah’
KETIKA Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873, maka perang mahadahsyat pun tak terelakkan
Foto-foto yang dibagikan Mizuar tersebut, umumnya adalah foto perempuan Aceh yang kondisi kepala atau rambutnya ditutupi kain (berhijab). Foto yang dibagikannya bersumber dari KITLV.NL dan tropenmuseum.nl yang direkam pada masa perang Belanda di Aceh (berkisar pada 1899-1903).
Setelah melihat berbagai argumen dan data-data yang ditampilkan terkait polemik lukisan wajah Cut Meutia tanpa penutup kepala --yang dijadikan sebagai gambar pengenal pada uang kertas terbaru-- penulis lebih cenderung mengatakan bahwa seorang Cut Meutia yang langsung ikut-serta dalam medan pertempuran, pastinya memahami betul ajaran Islam. Bahwa ada batas-batas tertentu aurat seorang Mukmin baik itu lelaki maupun perempuan.
Mesti jeli melihat
Perihal lain, terkait adanya foto Cut Nyak Dhien yang direkam Belanda sesaat setelah ditangkap, kita harus melihat situasi dan kondisi saat foto tersebut direkam. Di mana saat itu, Cut Nyak Dhien dijepret dalam keadaan mata sudah rabun dan beliau pun sudah tua. Dalam Islam, bagi wanita tua ada ulama yang berpendapat dibolehkan tidak menutup kepala dengan batasan tertentu.
Karena itu, kita mesti jeli melihat dan menelaahnya dalam berbagai sisi. Jangan sampai karena foto tersebut, akhirnya dijadikan acuan seakan-akan menutup kepala atau berkerudung pada masa itu, bukan perkara syar’i bagi perempuan di Aceh.
Selain foto Cut Nyak Dhien, foto-foto lain yang beredar, kita juga mesti kritis melihatnya. Jangan sampai kita langsung menerimanya, tanpa melihat kembali secara jeli. Mengingat foto-foto yang beredar merupakan gambar yang direkam pada masa perang. Saat kondisi perang, ketersediaan barang sangat terbatas. Jangankan ketersediaan kain yang memadai, kebutuhan akan bahan makanan pun sulit didapatkan.
Selain itu, foto yang umumnya direkam oleh Belanda juga harus menjadi perhatian kita. Mengingat kedatangan Belanda ke Aceh bukanlah dalam misi perdamaian atau mempererat hubungan kedua negara, melainkan untuk memperlihatkan keangkuhan dan mempertontonkan kekuatan mereka. Dengan alasan Aceh tidak mampu menjaga perairannya dari perompak, Belanda secara sepihak menyatakan perang terhadap Aceh pada 1873.
Karena itulah, kita harus mewaspadai maksud dan tujuan terselubung mereka, terkait banyak beredar gambar perempuan Aceh tanpa penutup kepala saat itu. Mengingat Aceh satu-satunya negeri Islam di Nusantara yang masih berdaulat dan berhasil Belanda kuasai.
Untuk menguasai sebuah wilayah, musuh pastinya akan menggunakan berbagai cara dan trik dalam melumpuhkan semangat juang kita. Mereka tahu betul bahwa ajaran Islamlah sumber dan semangat juang pendahulu kita. Karena itu, patut diduga, foto perempuan tanpa penutup kepala itu tak lain adalah satu siasat mereka untuk melemahkan semangat jihad fi sabilillah kita.
Walaupun saat itu kurang berefek, akan tetapi kita sekarang melihat bagaimana dari efek siasat tersebut. Di mana sesama anak bangsa, kita berbeda pendapat. Bahkan kata-kata jihad pun menjadi asing bagi kita.
Oleh karena itu, usaha untuk menelusuri; menelaah dan mencari fakta sejarah adalah hal yang harus dilakukan. Karena dengan tindakan seperti inilah kebenaran akan terungkap dan polemik punberakhir. Walaupun membutuhkan biaya besar dan waktu yang relatif lama, kegiatan menelusuri fakta sejarah tersebut bukanlah hal yang sulit. Mengingat masih persebaran manuskrip-manuskrip di Aceh yang menerangkan tentang itu. Dan perlu diingat, ini hal yang penting untuk diungkapkan, mengingat status Aceh kini sebagai provinsi yang diberi kewenangan khusus terkait penerapan syariat Islam. Upaya ini tentunya menjadi tanggung jawab bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh. Ini merupakan satu cara untuk mengakamodir kearifan lokal Aceh.
Muhajir Ibnu Marzuki, alumnus Sekolah Menulis Hamzah Fansuri, berdomisili di Jeuram, Nagan Raya, Aceh. Email: muhajir.marzum@gmail.com