Opini

Perempuan Aceh dalam Perang ‘Fi Sabilillah’

KETIKA Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873, maka perang mahadahsyat pun tak terelakkan

Editor: hasyim

Oleh Muhajir Ibnu Marzuki

KETIKA Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873, maka perang mahadahsyat pun tak terelakkan. Mulai dari petinggi kerajaan hingga rakyat jelata ikut serta dalam perang tersebut. Ratusan, bahkan ribuan tokoh terukir namanya dalam catatan sejarah sebagai sosok yang berani dan berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan agama. Bahwa perang yang dihembuskan oleh Belanda adalah perang membela bangsa, negara dan agama.

Diyakini orang yang meninggal dalam perang tersebut adalah mati syahid. Di mana dalam Islam, orang yang mati syahid, perlakuan atas mayatnya berbeda dengan orang yang meninggal pada umumnya. Jika si mayat biasa difardhukan untuk memandikan, mengafani, mengshalatkan dan menguburkan, maka si mati syahid tidak difardhukan untuk dimandikan dan dishalatkan.

Di antara ribuan tokoh yang ikut berperang melawan Belanda, tidak sedikit perempua Aceh bahu-membahu di medan perang, mengangkat senjata. Seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Teungku Fakinah, Pocut Baren, Cupo Fatimah, Pocut Meurah Intan (Pocut di Biheu), dan beberapa tokoh lainnya yang tidak populer dan tidak tercatat dalam catatan sejarah.

Mereka, perempuan Aceh yang ikut langsung dalam pertempuran. Pastinya bukanlah sembarangan perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang semenjak kecil sudah dididik dengan pengetahuan agama yang kuat. Mereka yang sudah betul apa kewajibannya sebagai muslimah.

Mata uang baru
Di antara perempuan tersebut, saat ini ada beberapa diberi penghargaan sebagai pahlawan Nasional Indonesia. Bahkan ada di antaranya dijadikan sebagai gambar pengenal pada uang yang diedarkan oleh Bank Indonesia (BI). Baru-baru ini, misalnya, BI merilis uang terbaru, di mana pada uang nominal Rp 1.000, gambar pengenalnya dibubuhi lukisan wajah Cut Meutia dengan rambutnya dibiarkan terbuka, tanpa penutup kepala (hijab/jilbab).

Akibat tindakan tersebut mengakibat terjadinya pro dan kontra dalam masyarakat, tak terkecuali di Aceh, negeri asal Cut Meutia. Berbagai argumentasi pun muncul terkait hal itu. Bahkan ada yang menganggap hal itu adalah pelecehan bagi Aceh, mengingat saat ini Aceh merupakan provinsi yang memberlakukan syariat Islam.

Para pendukung gambar tanpa hijab itu pun tak kalah sengit dalam berargumentasi. Demi mendukung pendapatnya, gambar Cut Nyak Dhien --yang direkam Belanda sesaat setelah beliau ditangkap-- disodorkan sebagai satu acuan dan juga beberapa foto lainnya yang memperlihatkan perempuan Aceh tempo doeloe tanpa kain penutup kepala.

Polemik itu akhirnya menyulut berbagai kalanganuntukmemaparkan bagaimana tata cara berpakaian Aceh tempo dulu. Bahkan ada juga pakar yang mencoba menelusuriasal muasal dari gambar Cut Meutia (tanpa hijab) tersebut.

Tuanku Warul Walidin, seorang cicit dari Sultan Muhammad Daud Syah (wafat 1939 di Batavia), di akun facebook-nya mengunggah satu foto. Di mana dalam keterangan foto tersebut disebutkan bahwa gambar yang diunggahnya merupakan foto Permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah (Sultan Aceh terakhir, ibunda dari Tuanku Raja Ibrahim, Teungku Putro Gamba Gadeng binti Tuanku Abdul Madjid. Di samping kanan-kirinya diapit oleh para dedayang istana (lamiet).

Dalam keterangan foto ia juga menuliskan bahwa seorang bangsawan sejatinya memiliki identitas diri yang membedakan antara dirinya dengan kelas dibawahnya (terutama Pada masa itu).cara bertutur kata hingga berbusana adalah menentukan siapa dirinya dan latar belakangnya.

Selain itu, Herman Syah, filolog yang kini terdaftar sebagai dosen di UIN Ar-Raniry, juga ikut membahas persoalan gambar Cut Meutia tanpa hijab tersebut. Dalam website-nya, hermankhan.com, ia memaparkan asal muasal dari gambar tersebut. Dalam tulisannya, ia menyebutkan bahwa pada 1969 pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan perangko yang menampilkan gambar dengan tulisan nama Tjoet Nja Meuthia atau Cut Nyak Meutia (1870-1910).

Gambar yang ditampilkan pada perangko tersebut, menurut Herman Syah, merupakan gambar yang direpro dari foto koleksi KILTV (Koninklijk Instituut voor Taal- Land-en Volkenkunde) dengan Nomor 1400103. Foto tersebut adalah hasil jepretan Nieuwenhuis CB pada sekitar 1901 di Kutaradja (Banda Aceh).

Tak jauh berbeda dengan Tuanku Warul Walidin dan Herman Syah, Mizuar Mahdi, aktivis kebudayaan yang kini menjabat sebagai ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) juga turut serta mengulasnya.

Menariknya, Mizuar Mahdi dalam akun facebook-nya (Mizuar Mahdi Al Asyi) membagikan sebuah album foto yang diberi judul “Pejuang, Bangsawan & Wanita Aceh dalam Potret Belanda”.

Foto-foto yang dibagikan Mizuar tersebut, umumnya adalah foto perempuan Aceh yang kondisi kepala atau rambutnya ditutupi kain (berhijab). Foto yang dibagikannya bersumber dari KITLV.NL dan tropenmuseum.nl yang direkam pada masa perang Belanda di Aceh (berkisar pada 1899-1903).

Setelah melihat berbagai argumen dan data-data yang ditampilkan terkait polemik lukisan wajah Cut Meutia tanpa penutup kepala --yang dijadikan sebagai gambar pengenal pada uang kertas terbaru-- penulis lebih cenderung mengatakan bahwa seorang Cut Meutia yang langsung ikut-serta dalam medan pertempuran, pastinya memahami betul ajaran Islam. Bahwa ada batas-batas tertentu aurat seorang Mukmin baik itu lelaki maupun perempuan.

Mesti jeli melihat
Perihal lain, terkait adanya foto Cut Nyak Dhien yang direkam Belanda sesaat setelah ditangkap, kita harus melihat situasi dan kondisi saat foto tersebut direkam. Di mana saat itu, Cut Nyak Dhien dijepret dalam keadaan mata sudah rabun dan beliau pun sudah tua. Dalam Islam, bagi wanita tua ada ulama yang berpendapat dibolehkan tidak menutup kepala dengan batasan tertentu.

Karena itu, kita mesti jeli melihat dan menelaahnya dalam berbagai sisi. Jangan sampai karena foto tersebut, akhirnya dijadikan acuan seakan-akan menutup kepala atau berkerudung pada masa itu, bukan perkara syar’i bagi perempuan di Aceh.

Selain foto Cut Nyak Dhien, foto-foto lain yang beredar, kita juga mesti kritis melihatnya. Jangan sampai kita langsung menerimanya, tanpa melihat kembali secara jeli. Mengingat foto-foto yang beredar merupakan gambar yang direkam pada masa perang. Saat kondisi perang, ketersediaan barang sangat terbatas. Jangankan ketersediaan kain yang memadai, kebutuhan akan bahan makanan pun sulit didapatkan.

Selain itu, foto yang umumnya direkam oleh Belanda juga harus menjadi perhatian kita. Mengingat kedatangan Belanda ke Aceh bukanlah dalam misi perdamaian atau mempererat hubungan kedua negara, melainkan untuk memperlihatkan keangkuhan dan mempertontonkan kekuatan mereka. Dengan alasan Aceh tidak mampu menjaga perairannya dari perompak, Belanda secara sepihak menyatakan perang terhadap Aceh pada 1873.

Karena itulah, kita harus mewaspadai maksud dan tujuan terselubung mereka, terkait banyak beredar gambar perempuan Aceh tanpa penutup kepala saat itu. Mengingat Aceh satu-satunya negeri Islam di Nusantara yang masih berdaulat dan berhasil Belanda kuasai.

Untuk menguasai sebuah wilayah, musuh pastinya akan menggunakan berbagai cara dan trik dalam melumpuhkan semangat juang kita. Mereka tahu betul bahwa ajaran Islamlah sumber dan semangat juang pendahulu kita. Karena itu, patut diduga, foto perempuan tanpa penutup kepala itu tak lain adalah satu siasat mereka untuk melemahkan semangat jihad fi sabilillah kita.

Walaupun saat itu kurang berefek, akan tetapi kita sekarang melihat bagaimana dari efek siasat tersebut. Di mana sesama anak bangsa, kita berbeda pendapat. Bahkan kata-kata jihad pun menjadi asing bagi kita.

Oleh karena itu, usaha untuk menelusuri; menelaah dan mencari fakta sejarah adalah hal yang harus dilakukan. Karena dengan tindakan seperti inilah kebenaran akan terungkap dan polemik punberakhir. Walaupun membutuhkan biaya besar dan waktu yang relatif lama, kegiatan menelusuri fakta sejarah tersebut bukanlah hal yang sulit. Mengingat masih persebaran manuskrip-manuskrip di Aceh yang menerangkan tentang itu. Dan perlu diingat, ini hal yang penting untuk diungkapkan, mengingat status Aceh kini sebagai provinsi yang diberi kewenangan khusus terkait penerapan syariat Islam. Upaya ini tentunya menjadi tanggung jawab bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh. Ini merupakan satu cara untuk mengakamodir kearifan lokal Aceh.

Muhajir Ibnu Marzuki, alumnus Sekolah Menulis Hamzah Fansuri, berdomisili di Jeuram, Nagan Raya, Aceh. Email: muhajir.marzum@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved