Breaking News

Pilkada 2017

Kuasa Hukum KIP Minta MK Tolak Permohonan Mualem-TA

Kuasa hukum pihak termohon dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Gubernur Aceh meminta

Editor: bakri
Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan I Dewa Gede Palguna (kiri) memimpin sidang panel II Sidang Sengketa Pilkada 2017 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (21/3). Sidang Sengketa Pilkada 2017 kedua itu menyidangkan 13 perkara diantaranya Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati Aceh Singkil dan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur Banten Tahun 2017. ANTARA/Muhammad Adimaja 

JAKARTA - Kuasa hukum pihak termohon dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Gubernur Aceh meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima (menolak) permohonan gugatan yang diajukan pasangan cagub/cawagub Aceh nomor urut 5, H Muzakir Manaf-TA Khalid. Gugatan pasangan ini dinilai tak punya kedudukan hukum (legal standing) dan tidak memenuhi syarat ambang batas selisih perolehan hasil suara seperti disyaratkan Pasal 158 UU No.10 Tahun 2016.

Permintaan tersebut diutarakan kuasa hukum Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, HM Nasrul Latief Soe’oed SH, Ainal Hukman SH, serta kuasa hukum pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah, Sayuti Abubakar Peusangan SH, pada sidang lanjutan sengketa hasil Pilkada Gubernur Aceh di Lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (21/3).

KIP Aceh adalah termohon, dan pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah sebagai pihak terkait dalam perkara nomor 31/PHP.GUB-XV/2017 yang dimohonkan oleh Muzakir Manaf-TA Khalid, pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Aceh Tahun 2017 nomor urut 5.

Dalam jawabannya, kuasa hukum KIP memohon majelis hakim MK agar menyatakan pemohon tidak memenuhi syarat ambang batas sebagaimana diatur pasal 158 UU No.10 Tahun 2016. Selanjutnya kuasa hukum KIP meminta MK mengesahkan keputusan KIP Aceh tentang penetapan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pilgub Aceh, berikut sertifikat rekapitulasi hasil dan rincian penghitungan perolehan suara dari setiap kabupaten/kota di Aceh dalam Pilkada 2017.

Dalam sidang perdana pekan lalu, Prof Yusril Ihza Mahendra, selaku kuasa hukum Muzakir Manaf-TA Khalid, meminta perhatian majelis hakim MK untuk mengacu krpada UUPA dalam menangani sengketa Pilkada Aceh.

Ia menyebutkan, dalam Pasal 74 UU Pemerintah Aceh itu tidak mengatur mengenai selisih suara. Oleh karena itu, permohonan sengketa bisa diajukan meskipun ambang batas selisih suara melebihi ketentuan pasal 158 UU Pilkada.

“Jadi, sesuai dengan prinsip hukum, aturan yang lex specialis mengesampingkan lex generalis. Karena UU Pemerintahan Aceh bersifat khusus, maka UU ini dapat mengesampingkan ketentuan dalam UU Pilkada,” ujar Yusril

Menjawab dalil pemohon tersebut, kuasa hukum pihak terkait, Sayuti Abubakar, mengingatkan agar MK tetap konsisten menjalankan ketentuan undang-undang, sebagai bentuk jaminan kepastian hukum. Bahwa MK pada putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota Serentak pada 2015 telah menyatakan tidak dapat menerima permohonan yang tidak memenuhi ambang batas yang ditetapkan Pasal 158 UU No 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.

Ambang batas selisih perolehan suara untuk Aceh adalah 1,5 persen, karena Aceh masuk dalam kategori jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.0000. Sesuai Keputusan KIP Aceh, total suara sah dalam Pilkada Gubernur adalah sebanyak 2.414.801 suara.

Masih kata Sayuti Abubakar, sehingga untuk dapat mengajukan gugatan ke MK selisih maksimal antara peraih suara terbanyak pertama dengan peraih suara terbanyak kedua adalah 2.414.801 x 1,5% = 36.222.015 dibulatkan menjadi 36.222 suara.

Perolehan suara pihak terkait (Irwandi-Nova) adalah 898.710 suara, dan suara pemohon (Mualem-TA) 766.427 suara. Sehingga jika perolehan suara pihak terkait dikurangi perolehan suara pemohon sama dengan 132.283 suara.

“Jelaslah bahwa selisih perolehan suara tersebut melebihi 1,5% sebagaimana disyaratkan pasal 158 ayat (1) UU Pilkada juncto pasal 7 ayat (1) PMK, maka sudah sepatutnya permohonan pemohon dinyatakan tidak diterima,” tukas Sayuti.

Terhadap dalil pemohon yang menyatakan bahwa dalam UUPA tidak dikenal adanya ambang batas selisih perolehan suara sebagaimana diatur Pasal 158 UU Pilkada, kuasa hukum pihak terkait menyatakan, menolak dalil tersebut karena didasarkan pada penafsiran dan penerapan hukum yang salah.

Sayuti memaparkan, memang benar bahwa UUPA sebagai lex specialis tidak mengatur ambang batas perolehan suara. Karena itu, ketentuan dan aturan hukum nasional yang berlaku, sebagaimana prinsip-prinsip lex specialis derogate lex generalis, bahwa; ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang); ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.

“Maka berdasarkan uraian tersebut, pasal 158 UU No.10 Tahun 2016 yang mensyaratkan ambang batas dalam.perselisihan perolehan suara Pilkada Aceh tetap berlaku karena memang tidak ada pengaturan khusus tetap ambang batas dalam UUPA yang merupakan lex specialis,” tukas Sayuti.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved